...


Sabtu, 25 Desember 2010

Let's talk about MIKA

Mika? What's it? Actually, it's rude question. Oke, let's change it. Who's Mika?
He's the man that sing (Relax) Take it easy, Grace Kelly, Kick Ass soundtrack. No idea? Maybe, the people on Indonesia will remember the energy drink advertisement that showed the security was dancing in traffic jam. I'm pretty sure, the song is dancing around your head (everybody's gonna love today, gonna love today, gonna love today).

You've got one of his song! Yeah, I just wanna say that I'm being over super duper crazy with his taste of music, his style, his giggle. But, underline this, the one that I really care about is his work, not his pretty face. Although, i have no doubt that he is handsome. Anyway, I'm not a teenage girl fans that screaming a lot because of the cover of book. 

Why do I like his music? Everything needs a reason, for scientist. Suddenly, I feel so sad about scientist. Boring life, they can explain anything with their damn logic reason. Let me say, his voice is falsetto. And he's proud of it. By the time, I heard men singer harmonically. Phew, am I listening orchestra? And this man, Mika, he does the different way. I can't, and you too, follow his music rhyme and his voice. But, he absolutely extremely can sing. The chaos is harmonic with special way. He's Dionysious, not Apollonian. And Nietszche, the father of madness philosophy, love Dionysious.

Then, the lyrics are totally different with the music. The songs sound so happy, make you dance. But, try to stop your shaking feet for a while, watch out the lyrics. Ah, I promise, you'll shed the tears. He combines the cynicism with 'positive-think' way. Sounds so confuse with my interpretation? It's ok, that's life. Maybe, you'll get upset with the lyric because you don't understand the relation between intro and chorus. Hey, you don't write billion chapter books. The lyric is so simple, don't you wish you'll get the Shakespeare words, but hard to understand. But, you'll get the feeling. It's about feeling, dude. We do not need the logic.

He is really love about art, I think. He made and draw his cover albums with his sister. The albums showed the cartoon theme. Full of colors, so fun. I think, he never feel shy about 'children-life', some grown-up people pretend like the age. But, that kind of people is truly pathetic. Ignore what they like because of the world. And their life is becoming black or white. Some people may say the act is not 'wise thing'. They may say, life is not that easy. Hey, you think life is easy with the children? Don't use your 'grown-up' eyes to see children life. If life is that easy, like their said, why do the children cry a lot than adult?

End of the essay, this man is really out of the box. Not for sensation, but he is honest about his self. Any problem with that? 

Like I said, I'm not interesting to talk about his life. I do care about his work. In case if you need sources to gossip, you can open these links:

Selasa, 31 Agustus 2010

Terujung Fana

Untuk kamu yg berada di sana, terpisah dalam keadaan ruang dan waktu.

Aku hanya sanggup menguntai kata dan berharap menjadi makna yg mewujud di hadapanmu. Aku hanya sanggup menorehkan kisah yg terasa begitu nyata untukku. Kisah yg mungkin tdk pernah muncul di hidupmu. Dan aku hanya sanggup mengintipmu dalam dunia tak bermakna.

Aaah, kisah itu masih melekat di relung hati dan tersimpan baik di koridor pikiran. Ketika semua berawal dari tegur tak bermakna dlm dunia yg sama tak bermaknanya. Semua yg kita lakukan, menguap dan ttp tak bermakna. Tapi, aku di belahan tempat lain, menikmatinya. Menunggu semua ke-tak-bermaknaan yg kita mainkan. Mengasyikkan, menghanyutkan, dan..... Entahlah, bagiku semua perasaan yg muncul dr permainan yg melenguh ini tercantum dalam satu, ketiadaan

Bagiku, kau ini sangat indah. Terlalu sempurna untuk percikan kenyataan. Fana ini menyusuri rambutnya, begitu tak kuasa jemari ini menyentuhnya. Kejang jemari menahan gerakan. Tapi tetap aku telusuri menuju leher jenjangmu. Ah, lagi2 begitu sempurna. Ingin rasanya kedua lengan memeluk leher tersusupi rambut halusmu. Tapi, aku tau aku takkan mampu.

Ini fana, bahkan tidak mungkin nyata. Biarkanlah. Biarkan mata ini menikmati dirimu, dari sudut mata menyentuh kalbu berujung pada kebisuan

Kamis, 15 Juli 2010

Berlari

Kini aku berada di jalan, terdiam sendiri tertelan keadaan. Apakah ini jalan yang sama seperti kemarin? Entahlah, aku tiada menggeliat dalam diam. Bosan keadaan lalu berujung pada diri berlari. Menanggalkan diam dengan geliat bisu atau mencapai keramaian pada garis pengharapan, entahlah diri tetap tertelan.

Lalu lari, terus berlari, hingga bunga tiada sari. Kelelahan mengganti keadaan, tapi tetap saja tertelan. Aku boleh melepas penat sejenak, kan? Setelahnya, aku janji melanjutkan lari sendiri.

Aaaah, tapi tetap saja bosan yang meninggalkan kesan. Aku ingin dikejar lalu sejajar. Lalu menawarkan pelega sedalam telaga. Bergandengan, menguatkan jari untuk tetap mengayun. Lalu kita berlari, terus berlari. Menanggalkan entah apa atau demi mencapai garis? Aku sudah tidak perduli. Sepanjang jari bertaut menjalin, bersama....

Minggu, 13 Juni 2010

Saya Tiada dalam Hampa





Berada dalam pencarian tanpa tau apa yang dituju membuat diri kehilangan kendali atas jiwa, kosong menguasai dan menggantikan. Kebas dan helaan, kemudian, silih berganti. Menahan dan melepas sudah tak berarti. Ada yang hilang, memang, tapi kapan jiwa memiliki? Bukankah orang bijak pernah berkata, kau tidak akan pernah merasakan kehilangan jika kau tidak pernah memilikinya? Tapi, tidak demikian dengan manusia yang satu ini, Saya.

Ijinkan saya membuat prolog, walaupun nantinya akan membingungkan. Kenapa pemaknaan selalu berujung pada kata yang menghilangkan diri sebagai pemakna dengan maknaannya? Kenapa makna harus dituliskan dengan kata, bukan ditenggelamkan melalui diam yang menjadikan ekstase? Bukankah dengan demikian kita dapat berorgasme berulang kali karena kenikmatan tiada tara yang tak terungkap dalam lisan maupun tulisan?

Tapi, semua harus dimulai dari awal bukan? Walaupun belum ada akhir yang pasti, awal akan menjadi kisah dari sesuatu, bahkan dari diam yang melahirkan ekstase berujung orgasme. Bukankah dalam kisah selalu ada pemeran ? kali ini pemeran utama dalam kisah ini adalah saya. Lalu, biarkan kisah ini menjadi kisah saya yang tidak sempurna melalui kata. Selanjutnya, biarkan saya menyebut diri sebagai zombie.

Zombie ? hahaha, aneh sekali. Tapi tidak demikian dengan zombie ini, ia merasa tidak ada yang aneh dengan dirinya. Ia dengan angkuhnya menyebut dirinya manusia seutuhnya. Tidak salah memang, bukankah zombie itu manusia? Sayangnya, manusia yang tidak berkesadaran, kosong, berjalan tak tentu arah. Jika kau katakan demikian padanya, pasti akan ditolaknya mentah-mentah. Bahkan ia akan balik menyerangmu dengan kata-kata yang sedemikian dahsyatnya dan acap kali benar. Kata-kata yang seakan-akan ditanamkan dan diprogram pada diri dan otaknya. Sudahlah, lebih baik kau tidak berdebat dengannya. Bukankah dari awal sudah dikatakan bahwa ia tidak berkesadaran? Rasanya sia-sia jika kau berdebat dengannya. Ia yang bahkan tidak sadar bahwa kata-kata itu ditanamkan, ia yang bahkan tidak sadar siapa yang menanamkan.

Hingga, suatu ketika yang tidak tau kapan tepatnya, zombie ini terdiam. Tiba-tiba rasanya lelah untuk berkata-kata dan bertindak seperti biasa. Lalu, diam, hening, sepi, sunyi menyelimuti. Kosong. Ada kerinduan untuk mengisi kekosongan itu. Tapi, zombie tak tau seperti apa yang dapat mengisinya. Menakutkan, tidak ada hal yang dapat dilakukan. Bingung, kalut, berujung pada tangisan tanpa sebab. Ada apa ini Tuhan?

Tuhan? Satu kata yang sudah lama membeku dan tersimpan pada ujung hati dan pikiran yang tak terjamah. Hati? Hah, sudah lama rasanya tidak menggunakannya. Lalu, zombie membongkar ujung-tak-terjamah itu. Tuhan yang telah diberikan padanya bertanda pada agama tertentu. Ia mulai mencari Tuhan pada agama itu, tapi bukannya menenangkan malah membutakan. Rasa-rasanya Tuhan menjadi sesuatu yang jauh sekali pada label itu, kalau sebegitu jauhnya kenapa zombie merasa sangat kehilangan? Bukankah semakin jauh sesuatu semakin tipis keberadaannya dalam diri?

Ah, pasti agama yang membuatnya jauh. Baiklah, mulai saat itu zombie memiliki sendiri konsep akan Tuhan. Tapi, itu terasa kurang lengkap karena zombie baru ingin mengenalnya. Sama seperti kalau kau baru mengenal kekasihmu, yang benar-benar mengenalnya adalah keluarganya bukan ? jadi, kalau kau ingin mengenal Tuhan, setidaknya carilah agama yang benar-benar mendekati citra Tuhan dari konsepmu itu.

Zombie ini terus mencari. Hingga, ia merasa salah satu agama sangat dekat dengan konsep spiritualitasnya. Cukup tertarik, tapi hanya sebatas itu dan kekosongan masih melanda. Ada sesuatu yang terasa sangat menentang dalam agama yang satu ini, terlalu banyak Tuhan yang akan mengisi kekosongan ini. Baginya, itu akan menjadi air yang meluber pada wadah kosong dan pada akhirnya menenggelamkan wadah itu. Cuma itu yang dipermasalahkan, lainnya? Sudah sangat sesuai dengan ketenangan dan perasaan sublime akibat ekstase. Memang, zombie belum orgasme, tapi ia sudah berada di wilayah ekstase. Menyadari hal itu, ia masih mempelajari agama itu dan alam mendukungnya. Seketika itu juga, seakan-akan ada buku yang terlempar.

Buku tebal itu selesai dalam 2 hari 1 malam. Ada yang menyusup ketika mata lelah dan ingin menghentikan bacaan, semacam godaan. Jika kau percaya ada malaikat di kanan dan setan di kirimu, seperti itulah yang kurasakan. Kadang godaan menang dan menidurkan zombie, kemudian malaikat meniupkan kesadaran ketika mata terbuka dari tidurnya. Tak perlu lagi ada istilah nyawa belum terkumpul dari tidur. Dan selesailah sudah buku tersebut.

Hati berdegup kencang mengalirkan panas pada tubuh. Kulit meremang dan mata tergenang. Ada tangisan lagi saat itu, ada sepi saat itu, ada diam. Tapi kali ini, keadaan menjadi tenang, bukan bergolak dalam diam. Ada kesadaran yang mengisi relung jiwa, ketika egoisme akan air yang menenggelamkan wadah terbantahkan.

Kalian bisa membaca sendiri buku itu, karena pemahaman selalu berbeda. Kali ini pemahaman itu berujung pada makna bilangan. Agama yang sangat dekat dengan konsep zombie ini mengatakan bahwa 1=0, 0=1. Dulu, zombie memahami bahwa ini merupakan konsep alam pada agama itu. Dan ia setuju. Zombie selalu mengalami sublime ketika berhadapan dengan alam yang luas, perasaan yang tidak dapat dijelaskan sampai sekarang. Ketika perasaan itu muncul, manusia (1) menjadi tak bernilai (0) di hadapan alam, tetapi dari alam lah (0) manusia menjadi ada (1).

Kemudian buku ini memainkan konsep itu terhadap Tuhan bagi agama tersebut. rumusan itu buatan manusia yang menjadikan 0 selalu tidak memiliki arti. Kemudian 1 menjadi bilangan yang keliatannya angkuh, karena Cuma dengan 1 jugalah ia dapat dibagi. Sementara bilangan lain selalu dapat dibagi oleh 1. kemudian pemahaman ini menunjukkan Tuhan sebagai yang 1, yang berkuasa atas yang lainnya. Tuhan yang Esa menjadi terpisah dan jauh karena kekuasannya. Manusia terkadang lupa ada bilangan 0 yang dilupakan. Bahkan jika 0 dimasukkan dalam deretan bilangan (0,1,2,3,4,5,6,7,8,9), jumlah dalam deretan itu tidak sesuai dengan deretan terakhir. Inilah, kenapa 0 dibuang jauh setelah pemahamannya berujung pada kekeliruan. Dan konsep menjadi 1≠0, 0≠1.

Titik (●) yang selalu bermakna pada akhir menggambarkan 0, yang kemudian kita simpulkan karena bentuk mereka sama yaitu lingkaran. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam lingkaran ada akhir? Apakah ia memiliki ujung seperti layaknya 1? Tentu saja tidak, 1 memiliki ujung yang bisa bermakna pada awal dan akhir. Lalu, dapatkah Tuhan berakhir? Dapatkah 1 menjadi simbol Tuhan? Bukankah Tuhan lebih baik disimbolkan 0?

Baiklah, mari kita ganti Tuhan sebagai yang 0. Tuhan tetap terasa jauh, karena Ia tidak dapat dimasuki oleh ciptaannya. Ia tertutup. Konsep tetap menjadi 1≠0, 0≠1.  Belum 1=0, 0=1. Hanya saja, tambahannya menjadi 1=manusia, 0=Tuhan. Nah, dalam agama yang membuat zombie tertarik, ketika dikatakan bahwa manusia yang memiliki kesadaran akan Pencipta akan menyatu. Karena sebenarnya Ia dan kita menyatu dalam kesadaran murni manusia. Indah ya, ketika Ia benar-benar dekat, tidak jauh dan angkuh dengan segala ke-Ia-annya.

Masih inginkah kau menyimbolkan Tuhan dengan 1 ataupun 0? Ada baiknya jika kita membuat angka yang khusus buat Tuhan. Menurut zombie, bilangan itu menggabungkan 1(manusia) dengan 0(Tuhan). Jadinya, seperti ini:


(Maaf, gambarnya jelek. Saya tidak ahli dalam menggambar)

Hei, lihat tidak bagaimana bilangan ini tidak berakhir tapi memiliki awal. Bilangan ini terus membesar, becoming. Pemahaman selanjutnya adalah spiritualitas manusia selalu ‘menjadi’, tidak pernah selesai. Ada proses dalam spiritualitas itu yang menghubungkan manusia dengan alam agar mencapai Pencipta. Heidegger juga memakai konsep ini dalam penjelasan Das Sein. Bukankah keyakinan ini begitu indah?

Berawal dari buku, proses spiritualitas zombie akan berlangsung. Terima kasih, Bilangan Fu. Sang zombie tetap mempelajari spiritualitas itu. Terima kasih, Hindu


Minggu, 06 Juni 2010

Tidak ada Agama yang Sempurna

Hey, life!!
How are you?
Hm, sudah lama saya tidak menulis dan bermonolog dalam penderitaan tiada henti. As I know, saya tidak kreatif kalau tidak menderita. What a pathetic me! Haha, sudahlah. Rasanya tidak perlu mengkasiani (gimana sih tulisannya) diri sendiri. Life is always about how, never be what.


Oke life, let's start the monologue. Saya ingin mulai dari salah satu dialog film (ya, lagi-lagi berawal dari film) Angels and Demon. Ini merupakan film kedua yang diangkat dari novel Dan Brown setelah The Da Vinci Code. Kedua karya Brown ini masih berputar dalam ranah agama, history, and konspirasi. The Da Vinci Code memberi kesan 'penasaran' bagi saya. Benar gak ya Leonardo Da Vinci memberi tanda pada karya-karyanya yang erat berhubungan dengan agama Katolik? Sementara, Angels and Demon menghentak keraguan saya terhadap agama. Hentakan ini membuat saya malu sendiri. Saya malu terhadap logika pengagungan rasionalitas saya yang menyingkirkan agama.


Sebelumnya, saya sangat benci dengan agama. Akan tetapi, saya masih percaya pada Tuhan. I guarantee my faith. Kebencian saya dimulai saat agama mengatur sisi spiritualitas manusia. Bagi saya, spiritualitas manusia itu berbeda-beda, gak ada yang sama. Lha, ini agama malah mengatur dan mengerucutkan perbedaan itu. Saya Islam karena orangtua saya islam, kemudian agama mengatur bahwa seorang muslim harus seperti ini-itu untuk mencapai Allah. Nah, kalau tindakan saya di luar ini-itu, saya akan dikatakan tidak Islam. Jahat sekali agama yang seperti itu. Tindakan mereka sudah melampaui Tuhan sendiri, karena berani memutuskan sesuatu yang sama sekali bukan berdasarkan Tuhan. Bagi saya, agama semacam politik. And you know that I really hate politic. I never understand their dirty way to persuate people and to get power. Agama itu wujud lain dari politik, dan itu kotor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran wahyu Tuhan, yang sangat didominasi laki-laki dan menjadikan manusia tunduk pada pemerintah. Hell yeah, that's why I never believe in religious.


Masalah Tuhan bagi saya sangat private, tidak bisa disatukan dalam institusi. Oke, saya Islam. Tapi, cara saya bergulat dengan Tuhan tidak dapat dilihat dari rajinnya saya sholat 5 waktu atau tertutupnya tubuh saya. Spiritualitas saya terisi ketika saya berdiam diri, bercakap-cakap dengan Tuhan layaknya sahabat, ketika saya minum dan mabuk, ketika saya melakukan hal lain yang dikatakan maksiat oleh agama. Bagi saya Tuhan yang seperti itu sangat dekat dengan hambanya, bukan sesuatu yang arogan nan jauh di awang-awang. Ketika saya berdiam diri, saya akan menangis sendiri tanpa sebab. Kesendirian saya ditemani oleh-Nya dalam meresapi sesuatu yang saya sendiri tidak tau, tapi saya lega karena Tuhan memahami. Ketika saya bercakap layaknya sahabat, saya bebas menghujat Dia secara tidak langsung karena ketidakpuasan diri terhadap hidup. Ketika saya minum dan kemudian mabuk, saya bisa percaya pada-Nya bahwa Ia akan menjaga saya di dalam ketidak-sadaran diri. Ketika hal maksiat saya lakukan, saya semakin mengagumi-Nya karena tubuh dan jiwa yang diciptakan dan berfungsi dengan baik.


Lalu, apakah saya masih Islam? Kalau saya lemparkan tulisan ini pada pemuka agama, maka jawaban mereka pasti: Kamu dilaknat, kafir, murtad, dan bla..bla.. I don't care. Kalau saya percaya percakapan mereka, berarti saya membuat jarak dengan Tuhan saya melalui mereka. Makanya saya tidak percaya pada institusi agama. Terlebih lagi, agama itu hasil kebudayaan. Jika agama semuanya sama, baik agama Islam di Arab, Amerika, dan Indonesia seharusnya sama. Atau ekstrimnya, tidak ada perbedaan agama.Tidak ada yang namanya perang antar-agama bukan?


Saya mungkin salah satu penghujat agama yang paling keras, sampai sang pastur dalam film tersebut mengatakan:

Tidak ada agama yang sempurna. Sama halnya dengan ketidaksempurnaan manusia

Ya Tuhan, saya menghujat agama karena mereka tidak mampu mewakilkan saya dalam spiritualitas. Memang, agama itu hasil budaya yang berarti buatan manusia. Jika manusia saja tidak ada yang sempurna, apalagi dengan hasil buatan manusia itu. Pasti jauh dari sempurna. Lalu, hujatan saya terhadap agama sebenarnya hujatan saya terhadap diri sendiri yang merasa kecewa dengan ketidaksempurnaan saya. Hujatan saya bertubi-tubi karena saya mengharapkan sesuatu yang lebih dari agama, dan harapan itu tidak terpenuhi. Sampai kapan pun agama tidak akan sempurna. Lalu, apa yang sebenarnya saya hujat? Buat apa saya menghujat agama, kalau saya tidak bersedia ikut dalam agama tersebut?

Jika, anda bertanya apa agama saya, saya akan menjawab sebenarnya bahwa agama saya Islam. Spiritualitas saya mungkin tidak islami, tetapi saya beragama Islam dengan cara saya sendiri. Akan indah sekali beragama jika berdasarkan kesadaran akan spiritualitas. Tidak akan ada lagi otoritas dalam agama yang berujung pada politik.

*Anyway, saya sedang tertarik dengan agama Hindu. Entah kenapa rasanya spiritualitas saya lebih dekat dengan Hindu. Saya sangat berterima kasih sekali jika teman-teman mengajarkan saya tentang Hindu. Namaste*

Senin, 17 Mei 2010

Philosophy is only knowing about, not feeling about...

Saya apatis dan pesimis dengan filsafat. Kesadaran ini berawal dari film Cast Away, film yang lagi-lagi ditawarkan oleh dosen filsafat. Beliau hanya sekali menyebutkan film ini, berbeda dengan film lainnya yang berkali-kali disebutkan. Anyway, sepertinya saya mengaminkan dialog salah satu film bagus Indonesia cin(t)a : our philosophy generation is generation of film. Bagi saya memahami filsafat dan kehidupan lebih mudah melalui film, bukan dari buku-buku berbahasa tinggi nan aneh yang pada akhirnya ingin mengatakan sesuatu yang simpel. 

Back to the theme, Cast Away film. Lima belas menit (atau lebih ya?) pertama memang membosankan bagi saya. Dibuka oleh orang-orang yang terlalu banyak dialog, terlalu banyak berpindah tempat, dan terlalu banyak iklan fedex di setiap adegan. Beuh, ini film atau promosi fedex ya? Terlalu khas Hollywood, ingat kan saya tidak terlalu suka permainan visual Hollywood? Lima belas kemudian, saya menahan napas, merasa tidak bergunanya filsafat dan filsuf yang paling diagungkan pada masa sekarang. Saya mulai berpikir dan kehilangan respek terhadap Nietzsche, sang filsuf yang dikatakan sangat hebat. Nietzsche selalu menyuarakan nihilisme sebagai salah satu cara mencapai Ubermensch (Superman). Kita harus menghilangkan nilai-nilai yang membentuk dan dibentuk masyarakat. Nilai-nilai tersebut hanya membuat manusia bodoh dan tidak berdaya. Kenapa demikian? Nietzsche hidup di masa kekecewaan terhadap agama dan teknologi yang malah meniadakan manusia. Agama hanya membuat manusia menjadi penakut dan sosok Tuhan menjadi sangat kejam. Tuhan benar-benar sudah seperti keegoisan dewa pada Masa Yunani Kuno, masih saja iri dan meletakkan serta membuat takdir seenaknya terhadap pahlawan pada masa itu. Tujuannya tak lain, agar para dewa tidak tertandingi kehebatan dan kesempurnaannya. Menyadari hal itu Nietzsche menyerukan bahwa "Tuhan telah Mati". Teknologi, ilmu pengetahuan juga merupakan bentuk Tuhan lainnya yang harus dimatikan.

Ketika semua telah mati, hidup pun menjadi ketiadaan nilai. Pernah gak kalian menyadari bahwa hidup kalian, moral kalian bukan karena kesadaran sendiri? Sebenarnya yang ada hanya moralitas palsu. Maka manusia tidak ada bedanya dengan zpmbie atau robot. Wah, hebat sekali sang filsuf satu ini. Tapi, tunggu sampai ia melihat film ini. Manusia yang awalnya berlomba dengan waktu, pada akhirnya waktu kehilangan makna. Pada awalnya manusia berdialog penuh basa-basi hingga akhirnya manusia berdialog dengan ciptaannya sendiri untuk menemani kesengsaraan. Lebih lanjutnya, kalian bisa menonton film nya. Apa yang ingin saya sampaikan adalah, hey bahkan di suatu tempat yang antah berantah dan tiada nilai, hidup lebih menyedihkan. Bukan malah menjadi lebih hebat.Lihat, bagaimana orang yang sudah terbiasa dengan kerumunan tiba-tiba dikelilingi oleh diri sendiri. Getting weird, right?  Nietzsche, bahkan anda sendiri tidak pernah melarikan diri ke suatu tempat yang unknown-where, dan nihilisme.Bahkan anda samapai mati selalu mencari teman, kan? Itulah filsafat, kami memang terlihat sangat bijaksana. Tapi, tunggu sampai kami benar-benar dalam masalah, yang menurut teori kami sendiri seharusnya dapat diselesaikan secara mudah dan bijak, kami tidak lain hanya seorang pembual.

Filsafat bermain pada ranah konsep yang berdasarkan keadaan masa lalu dan masa sekarang. Bukan konsep untuk masa depan. Bahkan konsep tidak akan berguna dalam kehidupan sesungguhnya. Jika kita berada pada film Cast Away, apakah konsep siapa manusia, apa itu hidup, apa guna ini-itu akan bermanfaat? Absolutely not. Pernahkah filsafat mengajarkan hidup yang tidak harus berkonsep-ria? Secara keseluruhan, mungkin kami bijaksana dalam berpikir, tapi dalam bertindak belum tentu. Saya belajar sampai mengerutkan kening dalam membaca buku-buku sakti yang briliant, tapi ketika dihantam dengan satu film berdurasi dua jam. Hilang sudah kekaguman saya filsafat. Karena pengetahuan kami berdasarkan pada masa sekarang dan dulu. Filsafat tidaklah sebijaksana itu, kawan.

Maaf, Nietszche kamu hanya berteori. Kamu tidak lain hanya sebagai BIG FAT LIAR. Hidup ini benar-benar absurd.

Jumat, 30 April 2010

Kepada Sang Tuan

Kepada Tuan yang selalu saya sembah dalam hati......

Tuan, malam ini saya sangat merindukan anda. Saya memanggil ingatan yang telah saya tepikan dan saya simpan di ujung keterbatasan. Entahlah Tuan, saya menjadi hina dan terpuruk dalam keterbatasan hamba. Saya kembali ingin melayani anda. Bukan berarti selama ini saya lari tugas saya sebagai hamba, Tuan. Hanya saja, saya merindukan masa ketika sang nyonya belum hadir menguasai rumah Tuan. Ketika itu, walaupun saya menyadari bahwa saya hamba, Tuan membuat hubungan kita tidak selayaknya majikan-sahaya. Tapi, kita masih sadar akan status itu. Hanya saja hubungan kita sedikit menyenangkan, dulu...

Tuan, saya ingat ketika tiap malam kita berbincang apa saja. Ya, karena saat itu hanya kita berdua yang tinggal di rumah itu. Tuan bercerita apa saja, saya mendengarkan. Saya tidak akan berkomentar sebelum Tuan yang meminta, karena saya sadar saya hanya sahaya, tidak boleh lancang. Tapi, saya senang Tuan. Itu berarti Tuan percaya pada saya, pada sahaya yang derajatnya hina, Tuan. Sampai sekarang saya ingat semua cerita Tuan, bahkan tiap tarikan napas yang menjadi jeda dalam bercerita, saya ingat. Tuan terus bercerita, apa saja, tidak menghiraukan saya yang telah lelah bekerja. Tapi biarlah, toh ini juga bagian dari pekerjaan saya. Dan ini merupakan pekerjaan yang paling saya sukai, Tuan. Sampai saat Tuan bercerita tentang seseorang yang nantinya menjadi nyonya..


Saya tetap mendengarkan, Tuan. Walaupun hamba ini menjadi hina dan tersudut oleh diri sendiri, ini lebih menyakitkan, Tuan. Bahkan, dengan cerita Tuan yang kali ini saya menjadi cerewet. Saya langsung memotong cerita Tuan dengan saran. Saya mendorong Tuan untuk meminang sang nyonya. Walaupun saya tau nanti saya tersingkir, biarlah. Tugas saya sebagai hamba hanya melayani Tuannya agar selalu senang, dan dengan saran ini saya yakin Tuan akan senang. Lalu, Tuan tersenyum dengan saran saya yang lancang. Dan nyonya memasuki rumah serta hidup Tuan. Ini waktunya saya pergi dalam ketelanjangan seorang hamba yang merobek kainnya sendiri.


Waktu memang berlalu Tuan, dan anda masih dengan sang nyonya. Sementara saya, berhenti menjadi hamba dan menemukan beberapa pemuas nafsu seorang hamba. Tapi, tetap saja, nafsu terus menggebu karena imajinasi bertahtakan Tuan seorang. Memang, memang saya terbiasa bahkan sedikit menepikan Tuan karena hasutan hamba-hamba lain yang tidak senang dengan perbedaan. Ini bukan perjuangan kelas ala proletar bagi saya Tuan. Perjuangan itu hanya untuk yang tertindas, bukan kepada Tuan yang saya hormati dan saya layani. Tapi tetap saja perjuangan terus berujung pada kemenangan. Dan saya bukan seorang hamba lagi. Bagi saya, Tuan tetap menjadi Tuan. Perjuangan mereka tidak berarti apa-apa bagi saya. Mereka hanya berteriak pada Tuan mereka, bukan pada Tuan saya yang baik.


Hidup saya kosong Tuan, kemudian saya berpura-pura mengisinya. Sampai saya terbiasa, benar-benar terbiasa. Dan kembali kita berjumpa Tuan. Dan keadaan menjadi berubah, Tuan enggan bercerita lagi. Dan saya menjauh, karena saya bukan hamba lagi. Tapi saya ingin menjadi hamba lagi untuk berdekatan tanpa akhir yang janggal Tuan. Saya tidak suka dengan kejanggalan ini, bahkan sepertinya Tuan juga ingin bercerita. Tapi, mulut terpaksa membisu. Para pejuang kelas memandang sinis Tuan ketika kita ingin berbicara, dan nyonya mengambil waktu Tuan. Kadang saya berpikir, keadaan ini menjijikkan dan kejam, Tuan.


Pada akhirnya, kita memang berbincang Tuan. Tapi perbincangan ini tidak sehangat dulu. Ketika Tuan bercerita dan saya mendengar, sampai kemudian Tuan tertidur lelah dengan luapan. Pemandangan indah bagi saya, seketika lelah saya hilang. Sayangnya, itu dulu, Tuan. Dan malam ini, saya benar-benar merindukan sosok Tuan dalam kehambaan saya.

Selasa, 20 April 2010

Ketika politik menggeli(ti)kan

Saya terharu, bahkan menitikkan air mata.
Satu lagi film yang mengharuskan saya bermonolog. Saya lebay? Terserah kata anda.
Kali ini filmnya berjudul "3 IDIOTS", and thank's God it is not a kind of Hollywood film.Tapi film Bollywood. Saya tidak terlalu suka menonton film 'kacangan' ala Hollywood, hanya memaksimalkan visual bukan ide yang digali. Am I idealism? Nevermind..


Secara keseluruhan film ini menceritakan tentang pendidikan yang dikemas secara beda. Ya, walaupun masih diselingi dengan nyanyian dan tarian di kala hujan turun, ataupun hembusan angin di rambut pemeran perempuan. Tapi, bagi saya itu gak masalah. Karena Bollywood tetap menunujukkan keunikan pada film mereka, tidak mengikuti metanarasi (Oom Lyotard, saya pinjam ya istilahnya) Hollywood. Coba film Indonesia ada ciri khasnya ya. Atau ciri khas horor-mesum itu ciri khas film kita? Aah, saya tidak tahu lah.


Oia, balik ke ide 3 Idiots itu, saya berdecak kagum. Oh man, India sudah mulai mengkritik masalah pendidikan. Dan itu bagus! Pendidikan yang selama ini identik dengan ada yang mendidik dan dididik, ada guru dan ada murid, ada yang dipatuhi dan mematuhi, ada yang otoriter dan ditindas. Pendidikan selalu disempitkan menjadi sekolah, yah walaupun sekolah merupakan salah satu bentuk dari realisasi pendidikan, tapi menurut saya pendidikan (sekolah) seperti itu mengandung unsur politik. Malah mendehumanisasikan manusia.Ada maksud tertentu dari pendidikan formal seperti itu.


Permasalahan ini sudah masuk ke ranah politik.Dan saya tidak suka berpolitik, tapi apa di daya kehidupan ini saja sudah sarat dengan politik. Ada keinginan untuk melancarkan tujuan, diakui, bahkan berkuasa. Kalau begitu, aliran eksistensialisme merupakan aliran politik juga kah? Sepertinya saya harus berdiskusi dengan dosen esok hari tentang masalah ini. Sekolah adalah politik. Kenapa demikian? Saya melihat sekolah memiliki tujuan dan sistem tertentu dalam 'mendidik' yang biasanya kita sebut kurikulum. Contohnya saja, sekolah negeri menjadi favorit karena kebanyakan lulusannya akan tetap berada di jalur negeri yang aman. Ya, sebut saja PNS. Sekolah swasta, ini sih katanya buat orangtua yang berlebih dan memiliki anak yang kurang minat belajarnya. Mau tidak mau si anak disekolahkan agar diterima masyarakat. Dari kedua jenis sekolah di atas terdapat tujuan yang sama, yaitu agar dapat diterima oleh masyarakat. Tujuannya sih SEPERTINYA baik. Oia, saya lupa menyebutkan salah satu jenis sekolah yang sangat berbeda, pesantren. Jenis sekolah ini juga memiliki kurikulum agar yang dididik diterima di masyarakat. Kan Indonesia masih kental nuansa agamanya, apalagi sebagai penganut Islam terbesar yang sangat ekslusif, dengan sangat mudah menyalahkan sesuatu berdasarkan dalil wahyu ataupun kitab. Agama yang sama sekali tidak reflektif. Apakah saya pesimis terhadap agama? Ya, seperi itulah.


Lalu, ada apa dengan masyarakat kita? Kenapa sekolah sampai segitunya agar yang dididik diterima oleh kehidupan sosial? Kenapa sekolah ingin menguniversalkan manusia dan meniadakan perbedaan pada diri manusia itu? Berarti di masyarakat memiliki konsep sendiri tentang manusia yang ideal, yang sempurna. Tapi benarkah ada masyarakat yang sempurna? Jika tidak ada manusia yang sempurna, bagaimana dengan masyarakat itu sendiri yang terdiri dari kumpulan-kumpulan manusia yang tidak sempurna? Menurut saya, dari permainan logika dan kata ini sendiri sudah meruntuhkan kosep masyarakat ideal. Lalu, siapa yang mengatakan bahwa masyarakat yang ideal itu ada? Pemenrintah dan penguasa! Di Indonesia, konsep masyarakat ideal adalah masyarakat pancasila, di China konsep masyarakat ideal itu masyarakat sosialis, di Irak konsep masyarakat ideal adalah masyarakat fundasionalis. Aaah, terlalu banyak yang konsep masyarakat ideal di dunia ini. Bukankah seharusnya yang ideal itu satu, kenapa jadi banyak begini? Begitu juga dengan agama, setiap agama mengakui bahwa merekalah yang paling benar. Jika semua benar, siapa yang benar-benar 'benar' ? Membingungkan. Bagi saya, semuanya benar dan semuanya salah. Itulah sebabnya saya tidak mau mengikuti sistem yang ada, terlalu utopis dan omong kosong. Kenapa kita tidak menerima semua sekaligus menolaknya?


Begitu juga yang saya pikirkan tentang sistem pendidikan yang sudah diformalkan kedalam institusi (sekolah, universitas). Sekolah sudah memiliki aturan permainan yang harus diikuti, kalau tidak diikuti para pembangkang harus keluar. Kok jadinya sekolah sangat arogan ya? Bukankan sekolah seharusnya berisikan tentang pendidikan yang memanusiakan manusia tanpa terikat oleh sistem yang mengekang manusia menjadi 'sesuatu' yang universal. Hei, gak ada lho manusia yang sama! Kita semua memilki latar belakang yang berbeda. Pengalaman manusia itu berbeda, pikiran manusia juga berbeda. Bahkan konsep perasaan saja berbeda. Yang sama dari kita ya cuma KATA manusia saja. Tidak lebih.


Pendidikan seharusnya yang seperti itu, benar-benar membebaskan. Bukan memenjarakan.
Itulah sebabnya saya tidak suka politik. Ada yang arogan dalam politik

Jumat, 02 April 2010

Saya ingin menulis

Saya ingin menulis untaian kata yang tersimpan dalam renung
Terpalung tiada kuasa untuk ditampung
Hingga untaian kata menjadi siksaan di lidah
Sedikit keluar dan pedih menghambur keluh


Saya ingin menulis untaian kesah yang dilambung hasrat
Tertimbun tiada daya untuk tumbuh
Hingga untaian kesah menjadi himpitan jiwa
Merasuk ke dalam dan menekan raga bertahta


Saya ingin menulis jiwa yang terhalang rasa
Tersiksa untuk kembali asali dan melayang
Terbebas kebas dari belenggu napas
Hanyut terbuai di ketiadaan abadi


Saya ingin kembali menulis untaian makna
Pencarian akan menemani hingga terjaga
Gelap menemani abadi yang nyata
Bukan terang yang membutakan fakta


Saya ingin menulis
Hingga jiwa kembali pada asali.....

Kamis, 01 April 2010

Hingga Ujung Waktu

Belakangan ini saya suka sekali mendengar lagunya Sheila on 7 yang Hingga Ujung Waktu. It's look like hears the bell of your wedding.


Hingga Ujung Waktu


Serapuh kelopak sang mawar
Yang disapa badai berselimutkan gontai
Saat aku menahan sendiri
Diterpa dan luka oleh senja

Semegah sang mawar dijaga
Matahari pagi bermahkotakan embun
Saat engkau ada disini
Dan pekat pun berakhir sudah

Akhirnya aku menemukanmu
Saat ku bergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pernah berhenti memilikiku

Hingga ujung waktu
Setenang hamparan Samudra
Dan tuan burung camar
Tak kan henti bernyanyi

Saat aku berakhayal denganmu
Dan berjanji pun terukir sudah
Jika kau menjadi istiriku nanti
Pahami aku saat menangis

Saat kau menjadi istriku nanti
Jangan pernah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu

Jika kau menjadi istiriku nanti
Pahami aku saat menangis
Saat kau menjadi istriku nanti
Jangan pernah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu


Jumat, 26 Maret 2010

Tenangkan Aku, Teman

Hei, saya senang berteman sepi. Bersahabat tanpa berbincang, tapi saling mengerti. Bersahabat dengan kediaman, yang nyaman. Saya senang bersahabat dengan sepi, karena kediaman memenuhi udara. Kemudian waktu menjadi berhenti, hanya saya dan sepi yang bergerak. Berdua saling bergelut tanpa gerak, berdua mengeluh napas panjang tanpa sebab. Terasa intim dan nikmat, di himpitan hidup yang kian menggila. Di himpitan hidup yang terasa jauh dari kami, karena kami tidak pernah meminta untuk hidup,bahkan diciptakan.


Hei, pernahkah kalian berteman derita? Berteman dengan dia yang melukai tanpa sebab, berteman dengan dia yang membuat luka tak terlihat? Dia yang membuat saya menghela napas panjang, ketika himpitan semakin menekan. Jujur saja, saya tidak ingin menghela napas, biarlah saya terus dihimpit hingga tak bernapas dan menghela lagi. Tapi, saya tak kuasa. Karena ada sesosok teman yang terus memaksa saya menghela napas.


Dia tidak ingin saya tenang, terus memaksa saya. Ayo bertemanlah dengan saya, paksaan yang selalu datang terus menerus darinya. Padahal saya tidak pernah mencetuskan pertemanan dengan dia. Kapan dia datang, saya tidak tau. Bahkan mengapa dia datang kepada saya, saya juga tidak tau. Saya mencoba bertanya, seperti layaknya pertemanan, tapi tak terjawab. Bahkan terkesan tidak perduli dengan pertanyaan saya. Sudahlah, berteman saja dengan saya. Selalu itu jawabannya. Dan saya tidak bisa menghindar dari pertemanan semacam ini. Oia, nama teman saya satu ini, kehidupan.


Kemudian ia datang membawa teman-temannya yang lain. Awalnya, saya merasa senang. Teman saya banyak, hidup saya akan berwarna. Tapi, saya tidak mengerti mereka. Dan mereka tidak mengerti saya. Ada yang hilang di sini, ada yang aneh di sini. Saya ingin lepas dari mereka yang mengikat saya dengan tali emas berselimutkan panas. Saya berontak, saya tak kuasa. Saya rindu sepi, teman baik saya. Saya rindu ketiadaan yang menjadikan saya ada dengan saya sendiri.


Saya lelah, cukup lelah dengan kehidupan dan teman-temannya. Hingga, tiba-tiba sepi datang menemani. Membelai saya dengan kehangatan, memeluk saya dengan kehampaan. Saya hanya bisa menangis, ingin bercerita tanpa tau apa yang ingin diceritakan. Saya hanya bisa menangis, saya bingung karena saya merasa kehilangan sepi di antara kehidupan. Saya bahkan tidak mengenal saya ketika ada di kehidupan. Entahlah, terus belai saya sepi. Terus kecupi mata ini. Tolong jauhkan saya dari mereka, Sepi. Kali ini Sepi menjawab, baiklah sekarang bercinta lah dengan ku. Biarkan percintaan ini menghasilkan Diam yang akan menenangkan mu....

Saya tidak minta diciptakan

Saya benci diberi pikiran, saya benci untuk memilih dengan pikiran.
Saya benci diberi rasa, saya benci dikuasai rasa
Saya benci jadi manusia
Bahkan saya benci hidup..


Pikiran, hanya mendesak
Rasa, hanya menekan
Manusia, hanya kekosongan
Hidup, tiada arti...


Bahkan adam dan hawa juga memmbenci
Benci kesunyian
Benci kedamaian
Benci kenikmatan


Terjatuh di kekelaman
Mencari cahaya,
apakah itu pikiran?
Tapi kenapa membutakan?


Naik ke permukaan,
melihat keindahan dan tersenyum, pedih
mengapa tetap ada yang kosong?
Mengapa ada yang hilang?


Apakah harus berada di tengah?
Terjepit antara kelam yang kosong?
Antara rasa dan pikiran
Antara hidup dan mati


Lalu, kenapa aku di sini?
Aku tidak tau artinya kehidupan
Aku tidak tau artinya kematian
Karena aku tidak minta diciptakan


Atau aku hanya sebuah ilusi yang ingin keluar?
Tapi keluar dari apa?
Bahkan, aku tidak tau semuanya

Selasa, 16 Maret 2010

Mind, antara qualia dan other mind


Kita Tahu, atau
Hanya Merasa Mengetahui?

Nama   : Efriani Effendi
NPM   : 0706292265
Tugas Philosophy of Mind

(Salah satu tugas gw yg bagus buat dibaca )

Pada awalnya, saya bingung ketika harus memilih pembahasan antara qualia atau other mind. Hal pertama yang membuat saya bingung adalah apakah kedua hal itu berbeda? Padahal kalau memang berbeda, berarti salah satunya bukan bagian pembahasan dari mind itu sendiri. Akan tetapi, karena prosedurnya adalah memilih, maka saya pun memilih qualia. Tesis saya adalah kita hanya akan mengetahui other mind, jika kita mengetahui dan memiliki qualia yang sama. Akan tetapi, dapatkah demikian?

Mungkin imajinasi memang tidak dapat dibatasi. Demikian pula imajinasi para seniman[1]. Ironisnya, dari imajinasi itulah yang membuat manusia ‘gelisah’. Sudah dua film yang saya tonton, yang menunjukkan bahwa pikiran (mind) manusia dapat diketahui bahkan, parahnya, disusupi oleh manusia lain. Kedua film itu adalah Harry Potter and the Half-Blood Prince dan Being John Malkovich.  Kedua film ini menunjukkan kalau kita memang dapat mengetahui pikiran orang lain. Saya akan menerapkan tesis saya, dan kembali bertanya pada seniman tersebut : Benarkah kita tahu? Atau HANYA merasa tahu?

Secara singkat, scene dalam film Harry Potter menceritakan bahwa Harry mengemban tugas dari Dumbledore untuk menarik perhatian dari Professor Horace. Tujuannya adalah agar sang professor memberikan ingatannya[2] yang merupakan kunci untuk mengalahkan Voldemort. Sebenarnya, Dumbledore telah menyimpan ingatan sang professor. Akan tetapi, Dumbledore menyadari bahwa ingatan yang diberikan Professor Horace merupakan ingatan yang telah dimanipulasi oleh Horace sendiri. Ini dikarenakan Horace malu akan kenyataan bahwa dulu ia membantu Voldemort. Pada akhirnya Harry berhasil dan menuangkan ingatan professor dalam Pensieve[3]. Dan Harry pun mengetahui rahasia Voldemort dalam ingatan professor itu.

Sedangkan, dalam film Being John Malkovich menceritakan adanya suatu ruangan misterius. Apabila kita memasuki ruangan itu, maka kita dapat ‘menjadi’ John Malkovich, seorang aktor terkenal. Kita dapat memasuki bahkan mengatur pikiran John Malkovich. Anehnya, yang disusupi tidak menyadarinya. Ruangan ini pun dibisniskan, banyak orang yang ingin merasakan hidup (walaupun Cuma dalam hitungan menit) layaknya seorang aktor. Salah seorang penyusup pikiran, yakni perempuan, ketagihan hanya karena ketika menyusupi pikiran John lah ia dapat memuaskan orientasi seksualnya terhadap sesama perempuan. Salah satu dialog yang sangat saya sukai adalah, “How lucky to be you (monkey), cause you don’t have to feel pain”.

Ironisnya, pertama kali, saya mengiyakan pernyataan tersebut. Akan tetapi, sang imajinasi membuat saya gelisah dan memaksa untuk melakukan monolog dengan diri sendiri. Benarkah demikian adanya? Atau hanya karena kita menganggap monyet itu makhluk yang berbeda dengan kita? Bukankah monyet hampir mirip DNA nya dengan kita? Rasanya tidak usah jauh-jauh membedakan kita dengan kelelawar[4], yang mungkin bagi beberapa orang langsung menyatakan bahwa tentu saja kita berbeda dengan kelelawar. Jawaban yang seperti ini, hanya jawaban orang-orang yang merasa tahu. Pernahkah orang-orang tersebut benar-benar menjadi seekor monyet atau kelelawar? Jawabannya pasti tidak pernah. Akan tetapi, saya juga tidak dapat menyalahkan pernyataan mereka. Imajinasi seliar apapun, sampai sekarang, belum ada fakta yang menyatakan bahwa manusia dapat berubah bentuk menjadi hewan.

Mungkin titik tolak ini sangat sulit untuk dibahas. Manusia dan hewan memang dua hal yang berbeda. Ada baiknya, bila saya memindahkan contoh antara manusia saja. Apakah kita benar-benar mengetahui pikiran orang lain? Untuk menjawabnya, saya berangkat dari qualia. Berangkat dari pemikiran Kant  bahwa manusia memiliki 12 kategorisasi dalam pikirannya. Empat yang saya ketahui dari kategori tersebut adalah, kualitas, kuantitas, relasi, dan kontingensi. Ketika melihat suatu obyek, maka mau tidak mau, keempat kategorisasi ini langsung kita lekatkan pada obyek tersebut. Konsekuensinya adalah, apakah kita benar-benar melihat obyek itu apa adanya? Padahal intensionalitas kita sudah bercampur dengan kategori tersebut. Sehingga, menurut saya, obyek-obyek tersebut memiliki kesan-kesan tersendiri yang memaksa saya untuk menerapkan kategorisasi tersebut. Selanjutnya, Kant mempertegas argumennya bahwa keputusan akan sesuatu (judgement of taste) benar-benar bersifat subyektif[5]

Contohnya, ketika saya melihat chili sauce, maka saya akan mengatakan bahwa warnanya merah dan menurut orang-orang rasanya cukup pedas. Namun, ketika saya mencobanya, saya langsung heran karena rasanya tidak sepedas bayangan atau dugaan saya. Ini berarti, kualitas (qualia) saya berbeda dengan orang lain. Berarti kesimpulan kali ini adalah saya berbeda dengan orang lain dalam masalah pedas. Baiklah, ada satu hal yang saya dan orang lain setuju akan chili sauce, yaitu warnanya merah. Kemudian, saya menanyakan apakah warnanya adalah merah bata? Menurut teman saya tidak, warnanya adalah merah terang. Kenapa lagi-lagi berbeda? Sebenarnya warna saus itu apa? Untuk menghindari perselisihan, akhirnya saya dan teman saya melakukan consensus adanya warna baru yaitu warna merah saus. Akan tetapi, dapatkah warna ini dipahami ketika saya berinteraksi dengan orang lain, selain teman saya? Jangan-jangan saya harus melakukan consensus lagi. Kalau demikian adanya, berapa banyak consensus yang harus saya adakan untuk menyatukan warna merah itu?

Contoh kedua film di atas, menyebutkan bahwa adanya semacam media (perantara) dalam mengetahui pikiran orang lain. Harry menggunakan pensieve, dan film yang lain menggunakan suatu ruangan aneh. Mungkin dalam kehidupan sebenarnya, media tersebut adalah bahasa. Ketika seseorang mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan perutnya, dia mengatakan bahwa perutnya sakit. Kemudian, ia menggambarkan keadaan sakitnya itu seperti dipukul dan nyeri. Sakit, dipukul, dan nyeri merupakan media bahasa dalam menggambarkan apa yang dirasa. Berarti permasalahan qualia terselesaikan dengan bahasa. Benarkah demikian? Apakah bahasa yang ia gunakan sangat tepat dalam menggambarkan sakit itu? Apakah kita merasakan sakit yang sama, dengan yang digambarkan? Bagaimana dengan orang-orang yang memilki keterbatasan dalam berbahasa? Bukankah seorang Wittgeinstein pernah mengatakan bahwa, “Batas duniaku adalah batas bahasaku[6]” ? Berarti bahasa memiliki batasannya sendiri, tidak dapat menunjukkan qualia secara keseluruhan. Media sendiri tidak dapat membantu kita untuk memahami qualia orang lain. Ini berarti, kita tidak dapat memahami pikiran orang lain.

Bahkan,menurut saya, media hanya akan membuat qualia tidak menjadi qualia yang sebenarnya. Analogikan saja, ketika saya memanggang kue dalam oven, mau tidak mau saya harus membuka oven tersebut apabila kue sudah matang. Tidak mungkin dengan tangan telanjang saya membuka oven tersebut. Maka, saya harus mengenakan sarung tangan agar terhindar dari panasnya oven. Sarung tangan disini merupakan media saya dalam menanggulangi rasa panas. Walaupun saya masih merasakan panas, setidaknya saya mengurangi rasa panas itu.

Language making the distinction between what is sensed
And what is perceived coextensive with the distinction
Between qualia and things[7]

Kenapa demikian? Karena ketika kita berusaha menjelaskan sesuatu melalui bahasa, ada keinginan agar bahasa yang kita komunikasikan dimengerti oleh orang lain. Maka, logika bermain dalam tataran keinginan untuk dipahami. Benarkah dengan tataran logis dapat memperjelas qualia tersebut? Contohnya saja, rasa sakit perut itu kita jelaskan dalam bahasa yang dimengerti oleh orang lain, bukan untuk menjelaskan rasa sakit itu. Ketika ada jenis rasa sakit yang tidak ditemui dalam tataran bahasa, mau tidak mau kita harus menjelaskannya dalam bahasa yang ada.padahal dapat saja bahasa yang sudah tersedia tidak menunjukkan rasa sakit itu. Sekali lagi, argumen ini menunjukkan bahwa kita tidak memahami qualia dan konsekuensinya adalah kita tidak memahami other mind. Bahkan adanya media untuk membantu pemahaman qualia sama sekali tidak membantu, malah membuat kabur akan qualia tersebut. akan tetapi, di sinilah letak keunikan makhluk hidup yang membedakannya dengan benda mati yang tidak merasakan qualia-nya sendiri.
Mengapa saya katakan unik karena adanya qualia? Karena ini yang membedakan manusia dengan teknologi ciptaannya yang hampir menyerupai manusia, dalam hal ini robot. Mungkin, pada saat ini peneliti belum menciptakan robot dengan qualia, tetapi menurut saya tidak akan pernah. Bagaimana menciptakan sesuatu tanpa ada patokan sama sekali? Setiap manusia, ataupun makhluk lain, memilki qualia-nya tersendiri yang tidak dapat dipahami. Karena pengalaman akan sesuatu juga berbeda. Di sini hubungan selanjutnya adalah pengalaman. Rasa yang dimilki terhadap sesuatu selalu berbeda. Ini menunjukkan adanya intensionalitas. Inilah salah satu sebab, kenapa qualia dianggap sebagai sesuatu yang sangat subjektif.

Kita berangkat dari fenomenologi. Merasakan sesuatu, berarti adanya keterarahan yang menyebabkan kita merasakan sesuatu.



Di sinilah muncul sensasi-sensasi yang berasal dari pengalaman[8]. Apakah robot benar-benar memiliki pengalamannya sendiri? Reaksi-reaksi yang muncul hanya program-program yang sudah diatur terlebih dahulu sebelum robot mengalaminya. Alasan inilah yang juga membuat saya menolak adanya imajinasi kalau zombie itu ada. Tidak mungkin ada manusia yang benar-benar menyerupai manusia lainnya. Kalaupun ada ia dikatakan sebagai robot, bukan zombie. Manusia selalu merasakan dan menyadari rasa itu.

Jika qualia sangat subyektif, apakah tidak ada cara agar kita benar-benar memahaminya? Nagel mengatakan, hal itu tergantung bagaimana kita memahami ekspresi dari ‘what it is like’. Ketika kita ingin memahami rasa yang dirasakan oleh orang lain, maka kita harus melihat ekspresi dari subyek pertama. Ketika ia sakit, maka ia akan menagis. Ketika senang, maka ekspresi yang muncul adalah tertawa. Lalu, Nagel juga menawarkan dua cara untuk memahami qualia[9]:
1.       Sebuah observasi tentang karakter dari orang pertama yang mengalami pengalaman, berdasarkan sudut pandang dari orang pertama tersebut,
2.       Lalu, mengambil sudut pandang tersebut untuk dijadikan acuan.
Benarkah cara ini akan berhasil? Mari kita telaah lagi. Akankah kita mengetahui sebenarnya karakter seseorang berdasarkan ekspresinya? Bagaimana, katakanlah, dengan orang yang tidak memiliki ekspresi yang terlihat jelas? Lalu, cara yang ditawakan Nagel selalu mengambil sudut pandang dari orang pertama. Bagaimana kita dapat memposisikan diri kita seperti orang tersebut? Observasi hanya akan mengeneralisasikan manusia. Apakah hal itu mungkin?

Hingga pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan: Harry tidak akan pernah mengetahui pikiran orang lain melalui pensieve, dan (never) Being John Malkovich. Kedua contoh pemeran utama film-film di atas hanya merasa tahu, bukan tahu. Tidak mengetahui qualia berarti tidak mengetahui other mind

Daftar Pustaka
Blackmore, Susan. 2005. Consciousness: A Very Short Introduction.
New York: Oxford University Press
Cummins, Robert and Cummins, Denise Dellarosa (ed.). 2000. Minds, Brains, and
            Computers: The Foundations of Cognitive Science: An Anthology.
            USA: Blackwell Publishers
Humprey, Nicholas. 1992. A History of the Mind: Evaluation and the Birth of
            Consciousness. New York: Copernicus
Sturgeon, Scott. 2000. Matters of Mind: Consciousness, Reason, and Nature.
            London: Routledge
Thompson, Evan. 1995. Colour Vision: A Study in Cognitive Science and the
            Philosophy of Perception. London: Routledge




[1] Pada pembahasan kali ini, saya menyebutkan bahwa penulis merupakan seniman.
[2] Ingat, kita berada dalam dunia sihir
[3] Suatu wadah berisi air untuk menuangkan ingatan seseorang. Ketika ingin melihat ingatan orang lain tersebut, kita harus menenggelamkan kepala ke dalam wadah itu.
[4] Susan Blackmore, Consciousness: A Very Short Introduction hlm. 6-8
[5] The judgemet of taste is not determinable by grounds of proof at all, just as if it were merely subjective. Selanjutnya, permasalahan ini dapat dibaca dalam bukunya Critic of Judgement
[6] The limits of my language mean the limits of my world, dalam Tractatus Logico Philosophicus (5.6)
[7] Robert Cummins & Denise Dellarosa Cummins (ed.), Minds, Brains, and Computers: The Foundations of Cognitive Science: an Anthology, hlm. 59
[8] Evan Thompson: Colour Vision: A Study in Cognitive Science and the Philosophy of Perception. Hlm. 254
[9] Ibid. hlm. 256-257

Senin, 08 Maret 2010

Terbaring suatu saat

Ada apa dengan saya ya? Saya terlalu dingin melihat kematian, even ketika ada yang meninggal di depan mata saya. Tidak ada perasaan sedih atau apapun. Kosong, flat, bahkan  terbiasa.
Waah,kalau dipikir-pikir saya menjadi manusia yang tidak berperasaan ya? Terasa kejam. I'm becoming Hitler.
Naaah, I won't be like him.


Setelah dipikir-pikir, ada apa dengan kematian ya?
Kenapa orang selalu menangis dengan histeris?
Hey, semua pasti akan mengalami kematian.
Seharusnya sih kalian tau dan seharusnya sudah terbiasa.
But, why are you still crying?


Apa karena rasa kehilangan?
Tapi, kenapa harus sehisteris itu?
Toh, kapan kalian benar-benar memiliki sesuatu?
Hal yang terasa hilang itu bukan milik kalian, kenapa harus menangis?


Berbicara kematian, juga seperti itu kan?
Kalian selalu histeris di awal, tapi ketika di akhir kalian menjadi tenang.
Terasa omong kosong di hadapan saya kalau kalian seperti itu.
Jadi untuk apa menangis kalau hanya sementara?


seharusnya manusia terbiasa dengan rasa itu.
seharusnya manusia menjadi kuat dengan segala kesakitan.
seharusnya manusia tidak terlalu histeris.
kapan manusia menyadari itu?
toh, suatu saat kita juga terbaring kan??