...


Selasa, 16 Maret 2010

Mind, antara qualia dan other mind


Kita Tahu, atau
Hanya Merasa Mengetahui?

Nama   : Efriani Effendi
NPM   : 0706292265
Tugas Philosophy of Mind

(Salah satu tugas gw yg bagus buat dibaca )

Pada awalnya, saya bingung ketika harus memilih pembahasan antara qualia atau other mind. Hal pertama yang membuat saya bingung adalah apakah kedua hal itu berbeda? Padahal kalau memang berbeda, berarti salah satunya bukan bagian pembahasan dari mind itu sendiri. Akan tetapi, karena prosedurnya adalah memilih, maka saya pun memilih qualia. Tesis saya adalah kita hanya akan mengetahui other mind, jika kita mengetahui dan memiliki qualia yang sama. Akan tetapi, dapatkah demikian?

Mungkin imajinasi memang tidak dapat dibatasi. Demikian pula imajinasi para seniman[1]. Ironisnya, dari imajinasi itulah yang membuat manusia ‘gelisah’. Sudah dua film yang saya tonton, yang menunjukkan bahwa pikiran (mind) manusia dapat diketahui bahkan, parahnya, disusupi oleh manusia lain. Kedua film itu adalah Harry Potter and the Half-Blood Prince dan Being John Malkovich.  Kedua film ini menunjukkan kalau kita memang dapat mengetahui pikiran orang lain. Saya akan menerapkan tesis saya, dan kembali bertanya pada seniman tersebut : Benarkah kita tahu? Atau HANYA merasa tahu?

Secara singkat, scene dalam film Harry Potter menceritakan bahwa Harry mengemban tugas dari Dumbledore untuk menarik perhatian dari Professor Horace. Tujuannya adalah agar sang professor memberikan ingatannya[2] yang merupakan kunci untuk mengalahkan Voldemort. Sebenarnya, Dumbledore telah menyimpan ingatan sang professor. Akan tetapi, Dumbledore menyadari bahwa ingatan yang diberikan Professor Horace merupakan ingatan yang telah dimanipulasi oleh Horace sendiri. Ini dikarenakan Horace malu akan kenyataan bahwa dulu ia membantu Voldemort. Pada akhirnya Harry berhasil dan menuangkan ingatan professor dalam Pensieve[3]. Dan Harry pun mengetahui rahasia Voldemort dalam ingatan professor itu.

Sedangkan, dalam film Being John Malkovich menceritakan adanya suatu ruangan misterius. Apabila kita memasuki ruangan itu, maka kita dapat ‘menjadi’ John Malkovich, seorang aktor terkenal. Kita dapat memasuki bahkan mengatur pikiran John Malkovich. Anehnya, yang disusupi tidak menyadarinya. Ruangan ini pun dibisniskan, banyak orang yang ingin merasakan hidup (walaupun Cuma dalam hitungan menit) layaknya seorang aktor. Salah seorang penyusup pikiran, yakni perempuan, ketagihan hanya karena ketika menyusupi pikiran John lah ia dapat memuaskan orientasi seksualnya terhadap sesama perempuan. Salah satu dialog yang sangat saya sukai adalah, “How lucky to be you (monkey), cause you don’t have to feel pain”.

Ironisnya, pertama kali, saya mengiyakan pernyataan tersebut. Akan tetapi, sang imajinasi membuat saya gelisah dan memaksa untuk melakukan monolog dengan diri sendiri. Benarkah demikian adanya? Atau hanya karena kita menganggap monyet itu makhluk yang berbeda dengan kita? Bukankah monyet hampir mirip DNA nya dengan kita? Rasanya tidak usah jauh-jauh membedakan kita dengan kelelawar[4], yang mungkin bagi beberapa orang langsung menyatakan bahwa tentu saja kita berbeda dengan kelelawar. Jawaban yang seperti ini, hanya jawaban orang-orang yang merasa tahu. Pernahkah orang-orang tersebut benar-benar menjadi seekor monyet atau kelelawar? Jawabannya pasti tidak pernah. Akan tetapi, saya juga tidak dapat menyalahkan pernyataan mereka. Imajinasi seliar apapun, sampai sekarang, belum ada fakta yang menyatakan bahwa manusia dapat berubah bentuk menjadi hewan.

Mungkin titik tolak ini sangat sulit untuk dibahas. Manusia dan hewan memang dua hal yang berbeda. Ada baiknya, bila saya memindahkan contoh antara manusia saja. Apakah kita benar-benar mengetahui pikiran orang lain? Untuk menjawabnya, saya berangkat dari qualia. Berangkat dari pemikiran Kant  bahwa manusia memiliki 12 kategorisasi dalam pikirannya. Empat yang saya ketahui dari kategori tersebut adalah, kualitas, kuantitas, relasi, dan kontingensi. Ketika melihat suatu obyek, maka mau tidak mau, keempat kategorisasi ini langsung kita lekatkan pada obyek tersebut. Konsekuensinya adalah, apakah kita benar-benar melihat obyek itu apa adanya? Padahal intensionalitas kita sudah bercampur dengan kategori tersebut. Sehingga, menurut saya, obyek-obyek tersebut memiliki kesan-kesan tersendiri yang memaksa saya untuk menerapkan kategorisasi tersebut. Selanjutnya, Kant mempertegas argumennya bahwa keputusan akan sesuatu (judgement of taste) benar-benar bersifat subyektif[5]

Contohnya, ketika saya melihat chili sauce, maka saya akan mengatakan bahwa warnanya merah dan menurut orang-orang rasanya cukup pedas. Namun, ketika saya mencobanya, saya langsung heran karena rasanya tidak sepedas bayangan atau dugaan saya. Ini berarti, kualitas (qualia) saya berbeda dengan orang lain. Berarti kesimpulan kali ini adalah saya berbeda dengan orang lain dalam masalah pedas. Baiklah, ada satu hal yang saya dan orang lain setuju akan chili sauce, yaitu warnanya merah. Kemudian, saya menanyakan apakah warnanya adalah merah bata? Menurut teman saya tidak, warnanya adalah merah terang. Kenapa lagi-lagi berbeda? Sebenarnya warna saus itu apa? Untuk menghindari perselisihan, akhirnya saya dan teman saya melakukan consensus adanya warna baru yaitu warna merah saus. Akan tetapi, dapatkah warna ini dipahami ketika saya berinteraksi dengan orang lain, selain teman saya? Jangan-jangan saya harus melakukan consensus lagi. Kalau demikian adanya, berapa banyak consensus yang harus saya adakan untuk menyatukan warna merah itu?

Contoh kedua film di atas, menyebutkan bahwa adanya semacam media (perantara) dalam mengetahui pikiran orang lain. Harry menggunakan pensieve, dan film yang lain menggunakan suatu ruangan aneh. Mungkin dalam kehidupan sebenarnya, media tersebut adalah bahasa. Ketika seseorang mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan perutnya, dia mengatakan bahwa perutnya sakit. Kemudian, ia menggambarkan keadaan sakitnya itu seperti dipukul dan nyeri. Sakit, dipukul, dan nyeri merupakan media bahasa dalam menggambarkan apa yang dirasa. Berarti permasalahan qualia terselesaikan dengan bahasa. Benarkah demikian? Apakah bahasa yang ia gunakan sangat tepat dalam menggambarkan sakit itu? Apakah kita merasakan sakit yang sama, dengan yang digambarkan? Bagaimana dengan orang-orang yang memilki keterbatasan dalam berbahasa? Bukankah seorang Wittgeinstein pernah mengatakan bahwa, “Batas duniaku adalah batas bahasaku[6]” ? Berarti bahasa memiliki batasannya sendiri, tidak dapat menunjukkan qualia secara keseluruhan. Media sendiri tidak dapat membantu kita untuk memahami qualia orang lain. Ini berarti, kita tidak dapat memahami pikiran orang lain.

Bahkan,menurut saya, media hanya akan membuat qualia tidak menjadi qualia yang sebenarnya. Analogikan saja, ketika saya memanggang kue dalam oven, mau tidak mau saya harus membuka oven tersebut apabila kue sudah matang. Tidak mungkin dengan tangan telanjang saya membuka oven tersebut. Maka, saya harus mengenakan sarung tangan agar terhindar dari panasnya oven. Sarung tangan disini merupakan media saya dalam menanggulangi rasa panas. Walaupun saya masih merasakan panas, setidaknya saya mengurangi rasa panas itu.

Language making the distinction between what is sensed
And what is perceived coextensive with the distinction
Between qualia and things[7]

Kenapa demikian? Karena ketika kita berusaha menjelaskan sesuatu melalui bahasa, ada keinginan agar bahasa yang kita komunikasikan dimengerti oleh orang lain. Maka, logika bermain dalam tataran keinginan untuk dipahami. Benarkah dengan tataran logis dapat memperjelas qualia tersebut? Contohnya saja, rasa sakit perut itu kita jelaskan dalam bahasa yang dimengerti oleh orang lain, bukan untuk menjelaskan rasa sakit itu. Ketika ada jenis rasa sakit yang tidak ditemui dalam tataran bahasa, mau tidak mau kita harus menjelaskannya dalam bahasa yang ada.padahal dapat saja bahasa yang sudah tersedia tidak menunjukkan rasa sakit itu. Sekali lagi, argumen ini menunjukkan bahwa kita tidak memahami qualia dan konsekuensinya adalah kita tidak memahami other mind. Bahkan adanya media untuk membantu pemahaman qualia sama sekali tidak membantu, malah membuat kabur akan qualia tersebut. akan tetapi, di sinilah letak keunikan makhluk hidup yang membedakannya dengan benda mati yang tidak merasakan qualia-nya sendiri.
Mengapa saya katakan unik karena adanya qualia? Karena ini yang membedakan manusia dengan teknologi ciptaannya yang hampir menyerupai manusia, dalam hal ini robot. Mungkin, pada saat ini peneliti belum menciptakan robot dengan qualia, tetapi menurut saya tidak akan pernah. Bagaimana menciptakan sesuatu tanpa ada patokan sama sekali? Setiap manusia, ataupun makhluk lain, memilki qualia-nya tersendiri yang tidak dapat dipahami. Karena pengalaman akan sesuatu juga berbeda. Di sini hubungan selanjutnya adalah pengalaman. Rasa yang dimilki terhadap sesuatu selalu berbeda. Ini menunjukkan adanya intensionalitas. Inilah salah satu sebab, kenapa qualia dianggap sebagai sesuatu yang sangat subjektif.

Kita berangkat dari fenomenologi. Merasakan sesuatu, berarti adanya keterarahan yang menyebabkan kita merasakan sesuatu.



Di sinilah muncul sensasi-sensasi yang berasal dari pengalaman[8]. Apakah robot benar-benar memiliki pengalamannya sendiri? Reaksi-reaksi yang muncul hanya program-program yang sudah diatur terlebih dahulu sebelum robot mengalaminya. Alasan inilah yang juga membuat saya menolak adanya imajinasi kalau zombie itu ada. Tidak mungkin ada manusia yang benar-benar menyerupai manusia lainnya. Kalaupun ada ia dikatakan sebagai robot, bukan zombie. Manusia selalu merasakan dan menyadari rasa itu.

Jika qualia sangat subyektif, apakah tidak ada cara agar kita benar-benar memahaminya? Nagel mengatakan, hal itu tergantung bagaimana kita memahami ekspresi dari ‘what it is like’. Ketika kita ingin memahami rasa yang dirasakan oleh orang lain, maka kita harus melihat ekspresi dari subyek pertama. Ketika ia sakit, maka ia akan menagis. Ketika senang, maka ekspresi yang muncul adalah tertawa. Lalu, Nagel juga menawarkan dua cara untuk memahami qualia[9]:
1.       Sebuah observasi tentang karakter dari orang pertama yang mengalami pengalaman, berdasarkan sudut pandang dari orang pertama tersebut,
2.       Lalu, mengambil sudut pandang tersebut untuk dijadikan acuan.
Benarkah cara ini akan berhasil? Mari kita telaah lagi. Akankah kita mengetahui sebenarnya karakter seseorang berdasarkan ekspresinya? Bagaimana, katakanlah, dengan orang yang tidak memiliki ekspresi yang terlihat jelas? Lalu, cara yang ditawakan Nagel selalu mengambil sudut pandang dari orang pertama. Bagaimana kita dapat memposisikan diri kita seperti orang tersebut? Observasi hanya akan mengeneralisasikan manusia. Apakah hal itu mungkin?

Hingga pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan: Harry tidak akan pernah mengetahui pikiran orang lain melalui pensieve, dan (never) Being John Malkovich. Kedua contoh pemeran utama film-film di atas hanya merasa tahu, bukan tahu. Tidak mengetahui qualia berarti tidak mengetahui other mind

Daftar Pustaka
Blackmore, Susan. 2005. Consciousness: A Very Short Introduction.
New York: Oxford University Press
Cummins, Robert and Cummins, Denise Dellarosa (ed.). 2000. Minds, Brains, and
            Computers: The Foundations of Cognitive Science: An Anthology.
            USA: Blackwell Publishers
Humprey, Nicholas. 1992. A History of the Mind: Evaluation and the Birth of
            Consciousness. New York: Copernicus
Sturgeon, Scott. 2000. Matters of Mind: Consciousness, Reason, and Nature.
            London: Routledge
Thompson, Evan. 1995. Colour Vision: A Study in Cognitive Science and the
            Philosophy of Perception. London: Routledge




[1] Pada pembahasan kali ini, saya menyebutkan bahwa penulis merupakan seniman.
[2] Ingat, kita berada dalam dunia sihir
[3] Suatu wadah berisi air untuk menuangkan ingatan seseorang. Ketika ingin melihat ingatan orang lain tersebut, kita harus menenggelamkan kepala ke dalam wadah itu.
[4] Susan Blackmore, Consciousness: A Very Short Introduction hlm. 6-8
[5] The judgemet of taste is not determinable by grounds of proof at all, just as if it were merely subjective. Selanjutnya, permasalahan ini dapat dibaca dalam bukunya Critic of Judgement
[6] The limits of my language mean the limits of my world, dalam Tractatus Logico Philosophicus (5.6)
[7] Robert Cummins & Denise Dellarosa Cummins (ed.), Minds, Brains, and Computers: The Foundations of Cognitive Science: an Anthology, hlm. 59
[8] Evan Thompson: Colour Vision: A Study in Cognitive Science and the Philosophy of Perception. Hlm. 254
[9] Ibid. hlm. 256-257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar