...


Jumat, 12 Februari 2010

Aku ingin ke masa itu

Malam ini masih saja mencekam. Aku bosan, aku ingin dihinggapi asa. Dan malam ini masih saja selarut malam sebelumnya. Hembusan angin dan bunyi gemerisik dedaunan menambah rasa cekam yang menghinggapi aku. Sunyi, terasa sunyi. Bahkan gemerisik daun tak membantu. Aaah, aku dilanda bosan. Melihat ke depan, hanya kosong yang ada. Lalu melihat ke samping, kepala tetap memilih kembali ke depan. Walaupun kosong. Lalu, bagaimana dengan melihat ke belakang? Rasanya ingin, tapi sepertinya otot leher akan terasa sakit. Toh, aku tidak terlalu suka melihat ke belakang.

Pikiran pun kembali membongkar kenangan. Inilah aktivitas yang paling sempurna bagi orang bosan, khususnya aku. Kenangan akan masa kecil, ketika hidup terasa sangat mudah. Aku hanya perlu berteriak dan menangis, jika aku tak suka dengan keadaan. Suaraku memang akan mengganggu, bahkan mengganggu diriku. Tapi, ntah lah, aku tetap mengeluarkan suara dan rayuan akan bertubi-tubi menghinggapi. Tawaran untuk menenangkan suara ini, terasa sangat tulus. Dekapan, belaian, bahkan segala macamnya menghinggapi ku. Hidup terasa sangat mudah, waktu itu.

Sekarang, aku harus kembali berpikir untuk mengeluarkan suara. Harus menahan rasa yang ada, harus ini dan harus itu. Hidup menjadi sangat sulit, bahkan amat sangat sulit. Aku ingin bersuara, tapi ini itu menghalangi ku. Aku ingin menagis, tertawa, bahkan membenci, lagi-lagi harus melihat ini-itu. Aah, pikiran ini saja sudah sangat menyulitkan. Aku benci menjadi dewasa. Aku benci berpikir ini-itu

Dulu, hidup terasa berwarna. Bermain, tidur, disayang, melakukan semua yang menyenangkan. Tak ada yang melarang. Tak ada yang menyalahkan. Bahkan semua ikut senang, di mataku. Dulu, hidup terasa damai, tak perlu memikirkan keadaan orang lain. Toh, yang penting aku senang. Tidak ada orang yang tidk senang, menurut ku. Dulu, hidup sangat spontan. Aku tidak memiliki rencana. Dan itu terasa menggairahkan.

Sekarang, hidup selalu berada dalam lingkaran hitam-putih. Bahkan tidak bisa memilih abu-abu. Dan hidup menjadi suram. Selalu melakukan ini atau itu, tidak dapat melakukan ini-itu sekaligus. Sekarang, hidup menjadi satu dalam leburan hitam atau putih. Berpikir menjadi utama, hasrat menjadi logis karena berpikir. Masihkah aku menganggapnya sebagai hasrat? Ingin damai, harus berpikir dan dipikirkan. Aku benci berpikir. Memaksa ku menjadi manusia atau tidak, lagi-lagi hitam atau putih. Lagi-lagi harus memilih.

Dulu, aku senang menatap bintang. Walaupun tidak tiap malam. Aku masih takjub dengan bintang. Masih bertanya-tanya dalam hati, kapan aku bisa mengambil bintang dan meletakkannya dalam kamarku? Sehingga, tiap malam aku bisa terus menatapnya? Setidaknya, aku merasa masih ada menemaniku kalau ibu-ayahku terlelap di malam hari. Aku masih bertanya-tanya, kapan kamarku disemarakkan oleh kerlap-kerlip bintang?

Sekarang, aku tidak dapat bertanya-tanya dengan takjub lagi. Selalu ada teori untuk menjawabnya. Aku tidak dibiarkan bertanya-tanya lagi. Bahkan, hitam atau putih menghalangiku untuk menatap langit walaupun hanya sejenak. Bahkan, terkadang aku lupa bahwa aku sangat suka menatap bintang, dan masih memilki hasrat untuk meletakkan bintang di atap kamarku. Tapi, sekarang, aku hanya tidur ditemani kegelapan. Ditemani hitam yang sangat membosankan. Ketika pagi menyapa, putih menjadi sangat menyilaukan. Hitam atau putih hanya membuatku buta. Tidak dapat melihat apa-apa.

Kapan hidup menjadi semudah swaktu kecil? Kapan hidup masih melihat adanya putih ditemani oleh hitam? Kapan hidup menjadi menyenangkan tanpa pilihan? Aku ingin kembali ke masa kecil..


Buntu

Hmmm.....
Apa yang sedang saya pikirkan ya???
Hmmm...Hmmm...

Kenapa rasanya kosong? Tidak tau apa yang dipikirkan, menyedihkan...
Why I can't feel the passion of world? Just empty, flat. So boring!



I need the chaos, or something that makes me to think. Even I can't think about pain anymore.
Atau pada akhirnya, manusia telah terbiasa hingga tak merasa?

Atau saya harus merasa senang dengan keterbiasaan ini?
Atau dapatkah saya menjadi keterbiasaan itu?
Atau...atau....?
Bahkan pilihan pun tidak tersedia lagi. Benar-benar FLAT

Tidak ada perasaan, tidak ada paksaan, bahkan tidak ada pertautan.
Saya butuh apa ya?
Bahkan saya tidak tau apa yang harus dilakukan.

Kenapa hidup ini terasa damai mencekam?
Saya tidak suka damai yang seperti itu.
Biarkan hidup menjadi sakit karena jalang.

Yaaa, setidaknya saya merasa sakit.
Itu lebih baik


Kamis, 04 Februari 2010

Lalu, saya ini apa?

Tulisan kali ini mungkin akan lebih kepada refleksi diri saya atas kehidupan. Merefleksikan ini membuat saya sedih, amat sangat sedih. Kesimpulan secara cepat adalah saya ini bukan suatu realitas. Pahitnya, apakah saya ada? Waduh, tentu saja saya ada, karena kalau saya tidak ada siapa yang menulis ini? Bukan itu yang saya maksud. Memang kita semua 'ada', tetapi 'ada' yang bagaimana? Inilah yang akan saya refleksikan.

Awalnya, seorang dosen yang sudah sangat berkarisma mengatakan pada kelas, yang saya hadiri, bahwa pada masa kontemporer ini yang ditanyakan adalah realitas. Realitas itu apa sih? Tentu saja, apabila kita ingin menjawab secara cepat, realitas adalah kenyataan, yang ada, yang kita jalani. Jawaban yang seperti ini akan membawa kita kepada suatu keadaan yang tidak dapat kita lihat. Jawaban yang 'ada' menjadi sangat metafisik. 'Ada' itu sendiri menimbulkan pertanyaan, apakah hal tersebut tunggal atau tidak? Kalau anda menjawab bahwa realitas merupakan 'ada' yang tunggal, berarti anda merupakan seorang idealis. Seorang idealis? Hmm, menurut saya orang yang seperti ini adalah orang yang picik. Tidak mau berkembang, hanya mau berkembang pada yang satu saja. Sepertinya, penjelasan ini sangat sulit, saya akan memberi contoh saja. Katakanlah saya seorang idealis yang percaya bahwa realitas saya adalah kedamaian. Maka, segala tingkah laku saya akan melihat dunia itu damai, kalau ada sesuatu yang berlawanan dengan kedamaian, saya menganggap hal itu tidak ada. Padahal ketidakdamaian itu ada, Betapa piciknya saya! Lagi pula, kedamaian yang seperti apa yang saya maksudkan? Damai itu sangat banyak artinya. Kemajemukan arti damai saja sudah menunjukkan tidak ada yang tunggal.

Bantahan saya di atas sudah menunjukkan bahwa saya lebih setuju bahwa realitas 'ada' itu banyak. Dari kemajemukan itulah saya dibentuk, dan saya merupakan salah satu realitas. Tetapi, tiba-tiba saja sang dosen menghentak saya, dia menanyakan apakah realitas yang membentuk saya benar-benar yang sesungguhnya? Reaksi pertama saya, tentu saja bingung. Maksud beliau ini apa? Saya tidak mengerti. Kemudian ia menuntun saya dengan logika, yang sangat masuk akal. Begini logikanya:

Katakan lah saya sebuah realitas.
Salah satu realitas adalah masyarakat.
Masyarakat membentuk saya menjadi sesuatu
Yaitu realitas saya yang sekarang

Lalu, untuk melihat the real "I", maka saya harus melihat masyarakat yang membentuk saya. Apakah masyarakat tersebut benar-benar apa adanya? atau masyarakat ada apanya? Masyarakat tersebut tidak pernah saya ketahui, lalu bagaimana saya mengetahui diri saya sendiri? Apakah lingkungan saya benar-benar terbebas dari manipulatif? Apakah keluarga saya benar-benar merupakan suatu keluarga yang didasarkan oleh keluarga ideal, berdasarkan cinta atau hanya berdasarkan hasrat biologis? Hal ini, membuat saya tersentak. Who am I? Apakah saya manusia yang dibesarkan dalam realitas yang tidak saya kenal? Kalau saya tidak mengenal realitas, bagaimana saya mengenal saya? Kesadaran ini membuat saya benar-benar sedih. Konsekuensinya adalah hidup ini penuh manipulatif, kebohongan. Haaah, saya tidak dapat mengatakan apa-apa.

Salah satu realitas yang manipulatif dapat kita lihat dalam teknologi, dalam jejaring sosial. Apakah data yang diberikan selalu benar? Apakah kita dapat menjamin itu benar? Saya pribadi tidak dapat menjamin. Contoh lainnya, seorang perempuan akan menjadi perepuan yang sesungguhnya jika ia putih, lagsing, berambut panjang dan lurus. Ya, sesuailah dengan stereotype perempuan di iklan kecantikan. Anehnya, iklan tersebut sudah mempengaruhi perempuan lainnya. Mereka berlomba-lomba untuk mencapai perempuan jenis itu. Meminjam istilah Baudrillard, bahkan antara realitas itu sudah menjadi hyper-reality. What is the real reality? We never know.

Memikirkan ini saja sudah membuat saya sedih. Sudah lah. Bahkan teknologi malah menjadikan manusia semakin manipuatif, semakin  menciptakan realitas-realitas baru.

Lalu, saya tetap akan bertanya tanya: Saya ini apa??

Senin, 01 Februari 2010

Sherina - Andai Aku Besar Nanti

Andai Aku Besar Nanti
oleh: Sherina
Andai aku t'lah dewasa
Apa yang 'kan kukatakan
Untukmu idolaku tersayang
Ayah... Oh...


Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu


Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku


Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta


Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu


Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku


Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta
********

setiap dengar lagu ini, saya selalu terdiam, ingin menangis. Tapi asa tak kuasa untuk menangis.
ingin sekali rasanya mengucapkan kata-kata sayang kepada mereka, tapi lidah seakan kelu
tak terbiasa sehingga menjadi aneh.
Ingin terungkapkan tapi terhalang.....