...


Jumat, 30 April 2010

Kepada Sang Tuan

Kepada Tuan yang selalu saya sembah dalam hati......

Tuan, malam ini saya sangat merindukan anda. Saya memanggil ingatan yang telah saya tepikan dan saya simpan di ujung keterbatasan. Entahlah Tuan, saya menjadi hina dan terpuruk dalam keterbatasan hamba. Saya kembali ingin melayani anda. Bukan berarti selama ini saya lari tugas saya sebagai hamba, Tuan. Hanya saja, saya merindukan masa ketika sang nyonya belum hadir menguasai rumah Tuan. Ketika itu, walaupun saya menyadari bahwa saya hamba, Tuan membuat hubungan kita tidak selayaknya majikan-sahaya. Tapi, kita masih sadar akan status itu. Hanya saja hubungan kita sedikit menyenangkan, dulu...

Tuan, saya ingat ketika tiap malam kita berbincang apa saja. Ya, karena saat itu hanya kita berdua yang tinggal di rumah itu. Tuan bercerita apa saja, saya mendengarkan. Saya tidak akan berkomentar sebelum Tuan yang meminta, karena saya sadar saya hanya sahaya, tidak boleh lancang. Tapi, saya senang Tuan. Itu berarti Tuan percaya pada saya, pada sahaya yang derajatnya hina, Tuan. Sampai sekarang saya ingat semua cerita Tuan, bahkan tiap tarikan napas yang menjadi jeda dalam bercerita, saya ingat. Tuan terus bercerita, apa saja, tidak menghiraukan saya yang telah lelah bekerja. Tapi biarlah, toh ini juga bagian dari pekerjaan saya. Dan ini merupakan pekerjaan yang paling saya sukai, Tuan. Sampai saat Tuan bercerita tentang seseorang yang nantinya menjadi nyonya..


Saya tetap mendengarkan, Tuan. Walaupun hamba ini menjadi hina dan tersudut oleh diri sendiri, ini lebih menyakitkan, Tuan. Bahkan, dengan cerita Tuan yang kali ini saya menjadi cerewet. Saya langsung memotong cerita Tuan dengan saran. Saya mendorong Tuan untuk meminang sang nyonya. Walaupun saya tau nanti saya tersingkir, biarlah. Tugas saya sebagai hamba hanya melayani Tuannya agar selalu senang, dan dengan saran ini saya yakin Tuan akan senang. Lalu, Tuan tersenyum dengan saran saya yang lancang. Dan nyonya memasuki rumah serta hidup Tuan. Ini waktunya saya pergi dalam ketelanjangan seorang hamba yang merobek kainnya sendiri.


Waktu memang berlalu Tuan, dan anda masih dengan sang nyonya. Sementara saya, berhenti menjadi hamba dan menemukan beberapa pemuas nafsu seorang hamba. Tapi, tetap saja, nafsu terus menggebu karena imajinasi bertahtakan Tuan seorang. Memang, memang saya terbiasa bahkan sedikit menepikan Tuan karena hasutan hamba-hamba lain yang tidak senang dengan perbedaan. Ini bukan perjuangan kelas ala proletar bagi saya Tuan. Perjuangan itu hanya untuk yang tertindas, bukan kepada Tuan yang saya hormati dan saya layani. Tapi tetap saja perjuangan terus berujung pada kemenangan. Dan saya bukan seorang hamba lagi. Bagi saya, Tuan tetap menjadi Tuan. Perjuangan mereka tidak berarti apa-apa bagi saya. Mereka hanya berteriak pada Tuan mereka, bukan pada Tuan saya yang baik.


Hidup saya kosong Tuan, kemudian saya berpura-pura mengisinya. Sampai saya terbiasa, benar-benar terbiasa. Dan kembali kita berjumpa Tuan. Dan keadaan menjadi berubah, Tuan enggan bercerita lagi. Dan saya menjauh, karena saya bukan hamba lagi. Tapi saya ingin menjadi hamba lagi untuk berdekatan tanpa akhir yang janggal Tuan. Saya tidak suka dengan kejanggalan ini, bahkan sepertinya Tuan juga ingin bercerita. Tapi, mulut terpaksa membisu. Para pejuang kelas memandang sinis Tuan ketika kita ingin berbicara, dan nyonya mengambil waktu Tuan. Kadang saya berpikir, keadaan ini menjijikkan dan kejam, Tuan.


Pada akhirnya, kita memang berbincang Tuan. Tapi perbincangan ini tidak sehangat dulu. Ketika Tuan bercerita dan saya mendengar, sampai kemudian Tuan tertidur lelah dengan luapan. Pemandangan indah bagi saya, seketika lelah saya hilang. Sayangnya, itu dulu, Tuan. Dan malam ini, saya benar-benar merindukan sosok Tuan dalam kehambaan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar