...


Minggu, 31 Maret 2013

Taman Impian

Gelap, lelap, terhisap
Sesak, desak, terinjak
Ragu, sedu, termangu
Diam....

Gelap, lelap, menghisap
Sesak, desak, menjejak
Ragu, laju, melagu
Hidup....

Kita semua bertemu dipersimpangan terbiasa yang berbisa.
Mencari taman bernama nyaman

Rabu, 20 Maret 2013

Tentang Diam yang Berdetak Rindu

+ Kau bertanya pada ku seperti apa rasanya rindu.
- Aku tak tau, jawabku, yang aku tau setiap kali aku merasakannya hatiku bertalu gebu.
+ Sesak kah? tanyamu lagi.
- Benar, tapi hanya ini cara yang aku tau untuk berdetak.
+ Tak ingin kah kau menyepi sejenak?, tanyamu perlahan.
- Menyepi? Coba kau sebutkan tempat yang benar-benar sepi tanpa suara yang bersemi, tanya ku sambil senyum tertahan.
+ Kau terdiam.
- Aku menghitung jeda hingga ke bilangan enam.
+ Tak ada, jawabmu dengan mata terpejam.


+ Bahkan sejak manusia berselimutkan rahim, suara sudah bertandang tanpa henti.
- Ibu mengelus perut menenangkan bayi yang menendang. Bayi diam menurut seiring gesekan kulit terdengar di kuping.
+ Ketika meluncur menghirup udara, bayi dipaksa untuk menangis hingga airmata tercucur dan suara terdengar melacur.
- Ingin ini-itu tanpa mengenal kata tertata, bayi yang kini balita, harus menjeritkan bunyian melalui suara.
+ Pada masa sederhana, suara selalu terdengar berharga tanpa merana.
- Maksud mu? tanyaku seakan pembicaraan hilang arah
+ Tak sadar kah kau semakin berusia manusia semakin mengeluarkan suara yang penuh amarah? Mereka marah karena hidup tak sesederhana dan semengerti ketika diri diselimuti rahim yang bersemayam. Hidup semakin gerah.
- Ya, sekarang dunia terlalu bising hingga berujung pening. Semua berlomba bersuara, hingga suara membuat pekak. Lalu, siapa yang akan tersentak?


- Lalu, haruskah rindu menjadi ruang diam?
+ Bukan kah kau sendiri yang mengatakan bahwa tak ada yang benar-benar sepi walaupun kita cari hingga ke tepi?
- Ya, aku tetap pada kalimat ku. Toh rindu ini juga yang menandakan aku berdetak