...


Jumat, 12 Juli 2013

First chapter

Semua ada awal...

Ini sudah tahun ketiga ku tanpa kamu, tanpa kita. Tahun ketiga pula yang kulewati dengan lelaki yang bergantian menemaniku dipagi hari. Tahun ketiga yang coba ku biasakan melewati lima tahun bersama mu, bersama kita.

Ingin rasanya aku menghitung jumlah napas yang terlewati tanpamu, tanpa kita. Tapi, bagaimana caranya? Dalam satu menit aku bernapas 40 kali, coba aku kalikan ke hitungan jam, ke hitungan hari, ke hitungan minggu, ke hitungan bulan, ke hitungan tahun. Hasil akhirnya akan ku kalikan tiga. Hasilnya saja berupa angka. Terlihat mudah, kan? Andai saja hitungan rindu menjadi semudah itu. Jangan kau tanyakan padaku bagaimana menghitung kenangan.

Kenangan selalu membentuk awal. Awalnya ada aku, kafe sebagai tempat awal, dan kamu yang duduk sendiri di pojok titik-buta dari tempat dudukku. Di penghujung senja hujan turun dan aku terjebak tak bisa pulang. Jujur saja aku sedikit kedinginan saat itu. Ku teruskan membaca buku The Stranger karya Albert Camus. Walaupun aku sudah hapal semua kata dalam buku tersebut, aku tetap menikmatinya.

Ini sudah kopi kedua ku, bukannya merasa hangat aku malah merasa sedikit mual. Sialan, seharusnya aku pesan brandy tadi. Ku letak kan buku itu di atas meja, kalau ku lanjutkan bisa-bisa aku akan muntah. Sambil bersandar disofa tempat dudukku, aku memejamkan mata. Aku ingat nasihat ibu ku untuk mengambil napas panjang dan menahannya hingga hitungan kelima jika aku merasa tak sehat. Pada hitungan ketiga kau datang menyapaku yang sedang terpejam.

"Kau tau, kau terlihat putus asa. Bisa-bisa orang-orang akan mengira kau akan bunuh diri", itu sapaan awal mu. Memang bukan sapaan yang manis. Aku yang sedikit kesal dengan kehadiranmu yang memutuskan hitungan napasku, menjawab dengan ketus "ya, orang-orang yang terlalu sibuk mencampuri urusan orang lain akan berpikir seperti itu". Kau tersenyum simpul saat itu, "maaf jika terlihat mencampuri. Kau hanya butuh segelas brandy untuk menghangatkan badanmu". Saat itu juga aku baru menyadari kau membawa dua gelas. Aku yakin sekali itu isinya brandy. "Tenang saja, brandy ini tidak kucampur dengan apa pun. Kalau kau tidak percaya, aku akan memesankan yang baru untukmu", ujarmu sambil duduk didepanku tanpa permisi. Sudahlah, meja ini terlalu besar untuk ditempati oleh dua cangkir kopi, pikirku. Akhirnya, aku mengambil segelas brandy yang kau letakkan dihadapanku. "Kau mudah percaya pada orang asing ya? Ku kira kau akan menolak tawaran minuman ini", tanyamu sambil memandangku takjub.

Sengaja kubiarkan kau menunggu jawabanku hingga brandy hampir habis. "Kau tau, dikeluargaku ada resep untuk meminum brandy jika ada yang demam. Jadi aku sudah mengenal brandy mana yang sudah dicampur atau tidak. Lagipula, pekerja kafe tidak akan membiarkanmu untuk berbuat macam-macam padaku. Aku salah satu pelanggan setia mereka", jawabku akhirnya. "Kau benar-benar penuh perhitungan seperti Camus", pujianmu membuatku terkejut karena kau mengetahui pengarang favoritku. Dari situ, pembicaraan kita mulai menghangat.

Kau bilang kau baru saja sampai di kafe itu sepuluh menit sebelum aku masuk ke dalam untuk memesan kopi. Kau bilang dari awal tampangku sangat mudah untuk terus diperhatikan oleh orang lain. Aku yang merasa penampilanku biasa saja langsung mengatakan "jangan-jangan kau yang menjadi sangat suka memperhatikan orang lain karena dirundung bosan setengah mati". Lagi-lagi kau tersenyum dan mengatakan bagaimana mungkin kau dirundung bosan ketika hanya berjeda sepuluh menit.

Kau berkata bahwa manusia itu acap kali disamakan dengan animal (binatang) bukan tanpa sebab. Lalu, kau melanjutkan bahwa binatang itu mengeluarkan bebauan khasnya jika berada di dekat binatang lainnya. Bau itu entah menandakan mengancam jangan didekati atau menarik untuk didekati. Dan aku, masih lanjutmu, berada di antara jangan didekati dan didekati. Kau pun mengaku bingung, kebingungan yang membuatmu memberanikan diri mendekatiku. Hal yang misterius memang menarik, ujarmu. Aku terkejut dengan keberanianmu. "Kalau begitu, kau ini termasuk gagal dalam membaui aku sebagai lawan jenismu. Kalau kau percaya dengan logika bau-bauan tersebut, seharusnya hanya dua hal. Didekati atau tidak didekati, tidak ada pilihan ketiga. Atau jangan-jangan insting kebinatangan yang kau percayai itu sudah tumpul". Kau terdiam dan meneguk kembali brandy mu.

"Tidak, insting ku tidak tumpul. Perkataan kau tadi sudah menjelaskan. Kau pintar dan mengatakannya dengan jujur. Kau menyampaikannya walaupun itu sedikit kasar. Kita baru saja berbincang dan kau sudah bisa berpendapat terbuka, seakan kita sudah lama saling mengenal. Hey, tentu saja kejujuran itu kasar. Mungkin itu sebabnya orang-orang takut dengan kebenaran", katamu. Di akhir kalimat itu pula brandy kedua gelas dimeja habis. Malam semakin larut, dan bartender sudah membersihkan meja bar bertanda akan tutup

L'amour dans le mauvais temps - MIKA

L'amour dans le mauvais temps

Nous y voilà, toi et moi sur notre sommet
ces deux montagnes de fierté à soulever
a qui la faute, celle qu'on se rejette chaque fois
le premier qui saute sera-t-il le fou, le roi ?
après nous le déuge
se laisser tomber
dévaler jusqu'à un refuge, jusqu'à s'oublier

mon amour personne à l'horizon
plus que le temps assasin
personne ici, il n'y a plus de saisons
pourquoi écouter en vain la météo cruelle
moi j'aime autant
faire l'amour dans le mauvais temps

nous voilà bien, à guetter le premier qui glisse
et brisera le lien, assis au bord du précipice
on apprendra
y'a que le montagnes qui ne se rencontrent pas
bien trop fières pour faire un seul pas
après nous le déluge
se laisser tomber
dévaler jusqu'à un refuge, jusqu'à s'oublier

mon amour perosnne à l'horizon
plus que le temps assasin
personne ici, il n'y a plus de saisons
pourquoi écouter en vain la météo cruelle
moi j'aime autant
faire l'amour dans le mauvais temps

Everytime I listen to this song, my heart beats faster.

Kau tau rasanya kehilangan kata-kata yang sudah di ujung lidahmu? Sementara, kata-kata itu mendesak untuk keluar dan meluapkan perasaan yang membuncah di hatimu.

Sesak, kah? Tapi kau tak ingin menghentikan rasa sesak itu. Melalui sesak itu kau bernapas dengan perlahan, menghargai tiap hembusan napas tercekat mu.

Kau tidak mengerti apa yang terjadi, tapi kau candu terhadap kealpaan itu. Kau hanyut dalam suatu yang bisa saja membunuhmu. Tapi kau biarkan, karena kau menikmati perasaan tramendum itu.

Bunuh diri? Bukan. Kau menari menjelang penghujung. Indah