...


Sabtu, 11 Februari 2012

Lelaki itu Merindukan Daratan



Tepat 1 tahun 6 bulan yang lalu kita mulai berbagi asa, berbagi cinta, berbagi hasrat.

Tak ada yang tau ketika kita menghabiskan malam selepas hujan di senja hari. Tak ada yang bergunjing ketika sinar mentari membelai tubuh telanjang kita berdua. Tak ada yang menilai ketika kasih berkunjung dihati berbeda generasi.

“Kita berbeda”, kataku. “Tak masalah”, jawabmu sambil menggenggam jemariku. “Mereka pasti menghujat”, kesahku. “Aku hanya peduli dengan kita”, tenangmu. “Bolehkah aku melepas penat hidup di pundakmu?”, tanyaku menahan haru. “Peluk lah aku sekarang, sayang”. Kemudian aku hanya dapat merasakan wangi tubuhmu.

Di malam penghujung tahun, ada kita berdua ditempat favoritmu. Ada wangi tanah segar sehabis hujan. Ada dingin yang menghingapi permukaan kulit. Ada gemerisik dedaunan berirama mencipta lagu di tengah keheningan pegunungan. Ada kau yang terus menggenggam tanganku karena kau tau aku tak kuat akan dingin. Jangan merasa bersalah, kataku sambil menatap matamu.

Saat itu kau bercerita tentang minuman yang selalu kau minum sebelum tidurmu, anggur merah. Saat itu kau bercerita tentang lautan dan bintang utara. Katamu, ada seorang lelaki yang pergi melaut sendirian karena ia percaya manusia harus belajar dari laut. Berminggu ia berada di laut, tak ada makanan yang tersisa di kapalnya. “Sialnya ia tersesat”, ujarmu. “Tidak ada kompas apalagi GPS saat itu”, candamu sambil menatap langit. Suatu ketika ia menemukan gudang tua berisikan anggur merah yang sama tuanya dengan  gudang itu. Lelaki itu tersenyum getir karena merasa menemukan temannya. Lalu, diambilnya dua botol anggur merah untuk diminum di dek. Malam itu laut terasa lebih mencekam walaupun tak ada badai. Pertama kali diteguknya anggur merah itu, ia pun tiba-tiba menangis. Pahit, ia teringat keputusannya untuk meninggalkan daratan hingga tersesat di lautan. Didecapnya lidahnya, ada menempel rasa manis. Ia pun kembali menangis teringat betapa ia merindu akan daratan. Ia memukul kepalanya dengan kedua tangannya yang gemetar, berharap terlupa akan keegoisannya. Tentu saja ia tau hal itu akan sia-sia. Kembali diteguknya anggur merah berharap akan mabuk untuk sedikit melupakan rasa sepinya. “Anggur merah bukan seperti minuman alkohol lainnya yang cepat membuatmu mabuk, sayang”, katamu sambil menghela napas. Pada saat itulah lelaki tersebut melihat ada bintang utara dimalam yang cerah. Kembali ia teringat mitos pelaut lainnya untuk menuju bintang utara apabila tersesat di lautan. Lelaki tersebut menemukan bintang utaranya. Kau pun menutup ceritamu.

“Kau tau sayang, lelaki itu aku. Tentu saja tidak secara harafiah, karena aku tidak sedang melaut. Bintang utara itu kamu”, tanganmu semakin mengenggam erat tanganku. Ingin rasanya aku mengatakan bahwa genggaman tanganmu menyakitkan, tapi tidak bisa kukatakan karena pada saat itu hatiku terasa lebih sakit. Terlintas pertanyaan dipikiranku, bagaimana kalau ia telah sampai di daratan? Ia tidak akan membutuhkan bintang utara lagi. Dan aku tau kenapa kau pergi dari daratan untuk pertama kali.

Selepas malam itu, aku merasa tersudut dengan masa lalumu. Kau memang tidak pernah cerita tentang masa lalumu yang sudah menjadi pergunjingan teman-teman sosialmu yang juga sampai ke telinga teman-temanku. Aku seakan tidak peduli tentang masa lalu ketika menjadi perbincangan teman-temanku. Toh, mereka tidak mengetahui tentang kita seperti teman-teman sosialmu yang juga tidak tau. Tapi, tetap saja cerita mereka menyakitkan hatiku.

Rupanya pikiran tidak dapat disembunyikan. Kau merasa aku semakin menjauh karena akhirnya kau menyadari bahwa ceritamu secara tidak langsung mengatakan bahwa kau masih merindukan pujaan hati di masa lalumu. Beberapa temanku menyadari keuringanku, walaupun mereka tidak tau tentang kita. Suatu saat salah satu dari mereka berkata, “Kau boleh bercerita tentang hubunganmu kalau itu bisa membantu melegakan hatimu”. Aku hanya tersenyum sambil berkata “Hubunganku bukan untuk diceritakan ke kalian karena aku tau itu tak akan melegakanku. Maaf”. Mereka memelukku, aku menangis. Betapa mereka memahami sifatku yang satu ini.

Lalu, tepat 4 bulan yang lalu kita memutuskan berteman dengan pedih, kecewa, lelah. Pada saat itu kita memutuskan kembali berjalan sendiri. Kisahmu tetap menjadi perbincangan di antara teman-temanku tanpa mereka tau ada yang menahan perih.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar