...


Rabu, 20 Maret 2013

Tentang Diam yang Berdetak Rindu

+ Kau bertanya pada ku seperti apa rasanya rindu.
- Aku tak tau, jawabku, yang aku tau setiap kali aku merasakannya hatiku bertalu gebu.
+ Sesak kah? tanyamu lagi.
- Benar, tapi hanya ini cara yang aku tau untuk berdetak.
+ Tak ingin kah kau menyepi sejenak?, tanyamu perlahan.
- Menyepi? Coba kau sebutkan tempat yang benar-benar sepi tanpa suara yang bersemi, tanya ku sambil senyum tertahan.
+ Kau terdiam.
- Aku menghitung jeda hingga ke bilangan enam.
+ Tak ada, jawabmu dengan mata terpejam.


+ Bahkan sejak manusia berselimutkan rahim, suara sudah bertandang tanpa henti.
- Ibu mengelus perut menenangkan bayi yang menendang. Bayi diam menurut seiring gesekan kulit terdengar di kuping.
+ Ketika meluncur menghirup udara, bayi dipaksa untuk menangis hingga airmata tercucur dan suara terdengar melacur.
- Ingin ini-itu tanpa mengenal kata tertata, bayi yang kini balita, harus menjeritkan bunyian melalui suara.
+ Pada masa sederhana, suara selalu terdengar berharga tanpa merana.
- Maksud mu? tanyaku seakan pembicaraan hilang arah
+ Tak sadar kah kau semakin berusia manusia semakin mengeluarkan suara yang penuh amarah? Mereka marah karena hidup tak sesederhana dan semengerti ketika diri diselimuti rahim yang bersemayam. Hidup semakin gerah.
- Ya, sekarang dunia terlalu bising hingga berujung pening. Semua berlomba bersuara, hingga suara membuat pekak. Lalu, siapa yang akan tersentak?


- Lalu, haruskah rindu menjadi ruang diam?
+ Bukan kah kau sendiri yang mengatakan bahwa tak ada yang benar-benar sepi walaupun kita cari hingga ke tepi?
- Ya, aku tetap pada kalimat ku. Toh rindu ini juga yang menandakan aku berdetak



Tidak ada komentar:

Posting Komentar