...


Selasa, 18 Oktober 2011

Kenapa harus berkata ketika mementingkan rasa?

It's been months saya tidak menulis. Bukan, bukan karena saya sedang penat berujung muak pada kata.
I blame it on twitter. Yah, semua ide belakangan ini saya paksakan menjadi 140 karakter.
Sangking sedikitnya karakter yang disediakan, saya menuliskan sepotong-sepotong ide (yang berawal pada
rasa) yang bikin saya bingung sendiri darimana awal ide tersebut. Kebiasaan ini bikin cara ber
pikir saya tidak runut dan sistematis. Sounds so logic. Mungkin ini juga yang menyebabkan sebagian pengguna
twitter berisikan orang-orang yang galau. Galau yang entah kenapa sebabnya karena tidak bisa dirunut.


Well, kesimpulan ini saya dapat seiring dengan ketikan. Tidak direncanakan. Sepanjang aliran
kata, sepanjang itu pula ide mengalir. Tapi, haruskah kata menjadi raja untuk mendapatkan pengakuan?
Pengakuan? Kenapa pula kita menjadi orang yang gila diakui? Apakah semua harus diakui termasuk rasa?


Ada sebuah kalimat dari novel berjudul Brida karya Paulo Coelho yang saya kutip mengatakan, "Saya tidak pernah memilikimu. Bukankah dengan demikian saya tidak pernah kehilangan dirimu?". Jika ingin dihubungkan dengan kata dan pengakuan, maka saya ingin menyimpulkan bahwa ketika seseorang menyatakan perasaannya melalui kata (dengan kata lain membiarkan orang yang disukainya tau), pernyataan itu tak ubahnya menginginkan suatu pengakuan melalui jawaban dari yang dituju. Jawaban ya, tidak, bahkan diam pun merupakan respon dari pengakuan tersebut.

Lalu, jika itu tentang rasa, kenapa harus ada pengakuan? Bukankah dengan ketidak-pengakuan seseorang tidak akan pernah merasakan kehilangan? Bukankah dengan demikian ia terus mampu memiliki rasa tersebut tanpa takut kehilangan setelah memilikinya dari pengakuan kata?


It depends on you. Seperti yang saya katakan, pernyataan melalui kata pasti menginginkan pengakuan. Tak ubahnya pernyataan kata saya di atas. Bingung? Saya juga :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar