Hampir semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan
beberapa teori muncul dari pencarian kebahagiaan tersebut. Tak heran banyak
pula buku-buku fiksi maupun non-fiksi menuliskan tentang kebahagiaan tersebut.
Salah satu buku yang menulis tentang kebahagiaan tersebut
merupakan buku karangan Eric Weiner yang berjudul The Geography of Bliss. Weiner menghubungkan kebahagiaan dengan
keadaan geografi. Ia mengatakan bahwa di mana kita adalah sangat penting bagi
siapa kita (hlm. 18). Agaknya Weiner ingin mengatakan bahwa pencarian terhadap
eksistensi diri berhubungan erat dengan kebahagiaan. Tak heran para
eksistensialis acap kali dianggap sebagai orang-orang pemurung yang berlawanan
dengan masyarakat. Buku ini sendiri berusaha merangkum kebahagiaan 10 negara. Tentu
saja pemaknaan kebahagiaan tiap-tiap negara berbeda.
Adapun yang saya tuliskan berikut ini bukan merupakan
resensi terhadap buku terebut. Tulisan saya lebih merupakan tanggapan terhadap
pertanyaan yang diajukan Weiner secara lalu. Ada bagian yang cukup menggelitik
saya ketika Weiner berusaha menghubungkan evolusi dengan kebahagiaan:
“…Ketika
mereka (ilmuwan saraf) menunjukkan gambar yang menyenangkan kepada subyek,
bagian dauntelinga menjadi aktif. Ketika mereka menunjukkan gambar yang tidak
menyenangkan kepada subyek, bagian otak yang lebih primitive menjadi hidup.
Perasaan bahagia, dengan kata lain, tercatat di wilayah otak yang berkembang
belakangan. Hal ini menimbulakn
pertanyaan menarik apakah kita secara evolusioner, jika bukan istilah pribadi,
malas berjalan menuju kebahagiaan?” (hlm.
31-32)
Berdasarkan hokum
evolusi (survival of the fittest),
yang mengalami evolusi adalah makhluk yang tahan terhadap perubahan alam. Kita dapat
lihat melalui punahnya Dinosaurus yang dianggap sebagai makhluk non-evolusioner.
Jika dikaitkan dengan kemajuan IPTEK dewasa ini, perubahan alam bukanlah
sesuatu yang cukup ditakutkan lagi. Berbagai penemuan, jika tidak ingin
dikatakan menanggulangi bencana alam, dapat meminimalisir korban jiwa. Maka yang
dikatakan evolusi pada jaman sekarang merupakan evolusi mental (psiklogis).
Kemajuan IPTEK
yang berbanding lurus dengan taraf ekonomi, menyebabkan manusia teralienasi
(menggunakan istilah Marx) dengan dirinya sendiri dan masyarakat. Salah satu
kekhawatiran Marx terhadap masyarakat industry-kapitalis adalah manusia yang
menyamakan kebahagiaan dengan materi. Selama ini Marx dianggap oleh orang awam
merupakan pemikir materialis, saya mebaca Marx sebagai pemikir yang prihatin
terhadap kebohongan pemilik tanah yang menawarkan mimpi-mimpi kepada para
pekerja agar terus berbakti kepadanya. Kebohongan ini menurut Marx dapat
dilawan jika para pekerja sejahtera dalam ekonomi. Artinya, para pekerja harus
siap melakukan revolusi terhadap kaum kapitalis. Dapat disimpulkan, kebahagiaan
menurut Marx adalah tidak tertindas secara materi yang jika tidak dapat dicapai
akan menciptakan perbudakan.
Jadi, masyarakat
yang bahagia adalah masyarakat yang kuat secara ekonomi. Jika saya kaitkan
dengan pertanyaan Weiner di atas, ada empat kemungkinan dalam masyarakat dan
evolusi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut, ialah:
1. Masyarakat
bahagia dengan ekonomi cukup, malas berjalan menuju kebahagiaan tidak akan
mengalami evolusi karena ‘kebercukupan’ membuat mereka tidak bersiap secara
mental terhadap perubahan.
2. Masyarakat
bahagia dengan ekonomi cukup, merupakan masyarakat yang evolusioner karena dua
aspek (bahagia dan ekonomi) membuat mereka terus mengikuti IPTEK
3. Masyarakat
tidak bahagia dengan ekonomi yang tidak cukup, merupakan masyarakat evolusioner
karena mereka terbiasa dengan represi perubahan. Dapat dikatakan masyarakat
jenis ini merupakan masyarakat yang kuat secara mental
4. Masyarakat
tidak bahagia dengan ekonomi yang tidak
cukup, merupakan masyarakat yang tidak evolusioner karena meraka tidak mempunya
persiapan IPTEK yang didukung oleh ekonomi.
Pembicaraan dari
awal berada di sekitar evolusi secara psikologis, kemungkinan pada nomor 3
merupakan hal yang ideal terhadap penelitian yang disebutkan Weiner di atas. Kemungkinan
yang hadir pada masyarakat nomor 3 ialah mereka kuat secara mental terhadap
represi perubahan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah biasanya
masyarakat yang seperti ini akan dianggap oleh psikolog/psikiater sebagai
masyarakat yang sakit.
Menurut para
psikolog, ada baiknya seseorang menunjukkan sedikit emosi terhadap apa yang
yang merepresi mereka. Ada baiknya menangis jika merasa sedih. Ada baiknya
merasa iri terhadap teman yang selalu mampu membeli gadget terbaru. Kuat terhadap represi perubahan IPTEK yang seperti
ini dianggap sebagai hal negative yang perlu diobati. Sementara masyarakat
nomor 3 lah yang merupakan masyarakat yang dianggap evolusioner. Jika demikian,
mengapa masyarakat yang dikatakan depresi memerlukan pengobatan agar bahagia? Sementara,
jika berdasarkan penelitian di atas, orang yang bahagia cenderung malas
berjalan ke pintu evolusi. Apakah kita memerlukan bahagia lantas punah?