Hey, life!!
How are you?
Hm, sudah lama saya tidak menulis dan bermonolog dalam penderitaan tiada henti. As I know, saya tidak kreatif kalau tidak menderita. What a pathetic me! Haha, sudahlah. Rasanya tidak perlu mengkasiani (gimana sih tulisannya) diri sendiri. Life is always about how, never be what.
Oke life, let's start the monologue. Saya ingin mulai dari salah satu dialog film (ya, lagi-lagi berawal dari film) Angels and Demon. Ini merupakan film kedua yang diangkat dari novel Dan Brown setelah The Da Vinci Code. Kedua karya Brown ini masih berputar dalam ranah agama, history, and konspirasi. The Da Vinci Code memberi kesan 'penasaran' bagi saya. Benar gak ya Leonardo Da Vinci memberi tanda pada karya-karyanya yang erat berhubungan dengan agama Katolik? Sementara, Angels and Demon menghentak keraguan saya terhadap agama. Hentakan ini membuat saya malu sendiri. Saya malu terhadap logika pengagungan rasionalitas saya yang menyingkirkan agama.
Sebelumnya, saya sangat benci dengan agama. Akan tetapi, saya masih percaya pada Tuhan. I guarantee my faith. Kebencian saya dimulai saat agama mengatur sisi spiritualitas manusia. Bagi saya, spiritualitas manusia itu berbeda-beda, gak ada yang sama. Lha, ini agama malah mengatur dan mengerucutkan perbedaan itu. Saya Islam karena orangtua saya islam, kemudian agama mengatur bahwa seorang muslim harus seperti ini-itu untuk mencapai Allah. Nah, kalau tindakan saya di luar ini-itu, saya akan dikatakan tidak Islam. Jahat sekali agama yang seperti itu. Tindakan mereka sudah melampaui Tuhan sendiri, karena berani memutuskan sesuatu yang sama sekali bukan berdasarkan Tuhan. Bagi saya, agama semacam politik. And you know that I really hate politic. I never understand their dirty way to persuate people and to get power. Agama itu wujud lain dari politik, dan itu kotor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran wahyu Tuhan, yang sangat didominasi laki-laki dan menjadikan manusia tunduk pada pemerintah. Hell yeah, that's why I never believe in religious.
Masalah Tuhan bagi saya sangat private, tidak bisa disatukan dalam institusi. Oke, saya Islam. Tapi, cara saya bergulat dengan Tuhan tidak dapat dilihat dari rajinnya saya sholat 5 waktu atau tertutupnya tubuh saya. Spiritualitas saya terisi ketika saya berdiam diri, bercakap-cakap dengan Tuhan layaknya sahabat, ketika saya minum dan mabuk, ketika saya melakukan hal lain yang dikatakan maksiat oleh agama. Bagi saya Tuhan yang seperti itu sangat dekat dengan hambanya, bukan sesuatu yang arogan nan jauh di awang-awang. Ketika saya berdiam diri, saya akan menangis sendiri tanpa sebab. Kesendirian saya ditemani oleh-Nya dalam meresapi sesuatu yang saya sendiri tidak tau, tapi saya lega karena Tuhan memahami. Ketika saya bercakap layaknya sahabat, saya bebas menghujat Dia secara tidak langsung karena ketidakpuasan diri terhadap hidup. Ketika saya minum dan kemudian mabuk, saya bisa percaya pada-Nya bahwa Ia akan menjaga saya di dalam ketidak-sadaran diri. Ketika hal maksiat saya lakukan, saya semakin mengagumi-Nya karena tubuh dan jiwa yang diciptakan dan berfungsi dengan baik.
Lalu, apakah saya masih Islam? Kalau saya lemparkan tulisan ini pada pemuka agama, maka jawaban mereka pasti: Kamu dilaknat, kafir, murtad, dan bla..bla.. I don't care. Kalau saya percaya percakapan mereka, berarti saya membuat jarak dengan Tuhan saya melalui mereka. Makanya saya tidak percaya pada institusi agama. Terlebih lagi, agama itu hasil kebudayaan. Jika agama semuanya sama, baik agama Islam di Arab, Amerika, dan Indonesia seharusnya sama. Atau ekstrimnya, tidak ada perbedaan agama.Tidak ada yang namanya perang antar-agama bukan?
Saya mungkin salah satu penghujat agama yang paling keras, sampai sang pastur dalam film tersebut mengatakan:
How are you?
Hm, sudah lama saya tidak menulis dan bermonolog dalam penderitaan tiada henti. As I know, saya tidak kreatif kalau tidak menderita. What a pathetic me! Haha, sudahlah. Rasanya tidak perlu mengkasiani (gimana sih tulisannya) diri sendiri. Life is always about how, never be what.
Oke life, let's start the monologue. Saya ingin mulai dari salah satu dialog film (ya, lagi-lagi berawal dari film) Angels and Demon. Ini merupakan film kedua yang diangkat dari novel Dan Brown setelah The Da Vinci Code. Kedua karya Brown ini masih berputar dalam ranah agama, history, and konspirasi. The Da Vinci Code memberi kesan 'penasaran' bagi saya. Benar gak ya Leonardo Da Vinci memberi tanda pada karya-karyanya yang erat berhubungan dengan agama Katolik? Sementara, Angels and Demon menghentak keraguan saya terhadap agama. Hentakan ini membuat saya malu sendiri. Saya malu terhadap logika pengagungan rasionalitas saya yang menyingkirkan agama.
Sebelumnya, saya sangat benci dengan agama. Akan tetapi, saya masih percaya pada Tuhan. I guarantee my faith. Kebencian saya dimulai saat agama mengatur sisi spiritualitas manusia. Bagi saya, spiritualitas manusia itu berbeda-beda, gak ada yang sama. Lha, ini agama malah mengatur dan mengerucutkan perbedaan itu. Saya Islam karena orangtua saya islam, kemudian agama mengatur bahwa seorang muslim harus seperti ini-itu untuk mencapai Allah. Nah, kalau tindakan saya di luar ini-itu, saya akan dikatakan tidak Islam. Jahat sekali agama yang seperti itu. Tindakan mereka sudah melampaui Tuhan sendiri, karena berani memutuskan sesuatu yang sama sekali bukan berdasarkan Tuhan. Bagi saya, agama semacam politik. And you know that I really hate politic. I never understand their dirty way to persuate people and to get power. Agama itu wujud lain dari politik, dan itu kotor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran wahyu Tuhan, yang sangat didominasi laki-laki dan menjadikan manusia tunduk pada pemerintah. Hell yeah, that's why I never believe in religious.
Masalah Tuhan bagi saya sangat private, tidak bisa disatukan dalam institusi. Oke, saya Islam. Tapi, cara saya bergulat dengan Tuhan tidak dapat dilihat dari rajinnya saya sholat 5 waktu atau tertutupnya tubuh saya. Spiritualitas saya terisi ketika saya berdiam diri, bercakap-cakap dengan Tuhan layaknya sahabat, ketika saya minum dan mabuk, ketika saya melakukan hal lain yang dikatakan maksiat oleh agama. Bagi saya Tuhan yang seperti itu sangat dekat dengan hambanya, bukan sesuatu yang arogan nan jauh di awang-awang. Ketika saya berdiam diri, saya akan menangis sendiri tanpa sebab. Kesendirian saya ditemani oleh-Nya dalam meresapi sesuatu yang saya sendiri tidak tau, tapi saya lega karena Tuhan memahami. Ketika saya bercakap layaknya sahabat, saya bebas menghujat Dia secara tidak langsung karena ketidakpuasan diri terhadap hidup. Ketika saya minum dan kemudian mabuk, saya bisa percaya pada-Nya bahwa Ia akan menjaga saya di dalam ketidak-sadaran diri. Ketika hal maksiat saya lakukan, saya semakin mengagumi-Nya karena tubuh dan jiwa yang diciptakan dan berfungsi dengan baik.
Lalu, apakah saya masih Islam? Kalau saya lemparkan tulisan ini pada pemuka agama, maka jawaban mereka pasti: Kamu dilaknat, kafir, murtad, dan bla..bla.. I don't care. Kalau saya percaya percakapan mereka, berarti saya membuat jarak dengan Tuhan saya melalui mereka. Makanya saya tidak percaya pada institusi agama. Terlebih lagi, agama itu hasil kebudayaan. Jika agama semuanya sama, baik agama Islam di Arab, Amerika, dan Indonesia seharusnya sama. Atau ekstrimnya, tidak ada perbedaan agama.Tidak ada yang namanya perang antar-agama bukan?
Saya mungkin salah satu penghujat agama yang paling keras, sampai sang pastur dalam film tersebut mengatakan:
Tidak ada agama yang sempurna. Sama halnya dengan ketidaksempurnaan manusia
Ya Tuhan, saya menghujat agama karena mereka tidak mampu mewakilkan saya dalam spiritualitas. Memang, agama itu hasil budaya yang berarti buatan manusia. Jika manusia saja tidak ada yang sempurna, apalagi dengan hasil buatan manusia itu. Pasti jauh dari sempurna. Lalu, hujatan saya terhadap agama sebenarnya hujatan saya terhadap diri sendiri yang merasa kecewa dengan ketidaksempurnaan saya. Hujatan saya bertubi-tubi karena saya mengharapkan sesuatu yang lebih dari agama, dan harapan itu tidak terpenuhi. Sampai kapan pun agama tidak akan sempurna. Lalu, apa yang sebenarnya saya hujat? Buat apa saya menghujat agama, kalau saya tidak bersedia ikut dalam agama tersebut?
Jika, anda bertanya apa agama saya, saya akan menjawab sebenarnya bahwa agama saya Islam. Spiritualitas saya mungkin tidak islami, tetapi saya beragama Islam dengan cara saya sendiri. Akan indah sekali beragama jika berdasarkan kesadaran akan spiritualitas. Tidak akan ada lagi otoritas dalam agama yang berujung pada politik.
*Anyway, saya sedang tertarik dengan agama Hindu. Entah kenapa rasanya spiritualitas saya lebih dekat dengan Hindu. Saya sangat berterima kasih sekali jika teman-teman mengajarkan saya tentang Hindu. Namaste*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar