Tulisan kali ini mungkin akan lebih kepada refleksi diri saya atas kehidupan. Merefleksikan ini membuat saya sedih, amat sangat sedih. Kesimpulan secara cepat adalah saya ini bukan suatu realitas. Pahitnya, apakah saya ada? Waduh, tentu saja saya ada, karena kalau saya tidak ada siapa yang menulis ini? Bukan itu yang saya maksud. Memang kita semua 'ada', tetapi 'ada' yang bagaimana? Inilah yang akan saya refleksikan.
Awalnya, seorang dosen yang sudah sangat berkarisma mengatakan pada kelas, yang saya hadiri, bahwa pada masa kontemporer ini yang ditanyakan adalah realitas. Realitas itu apa sih? Tentu saja, apabila kita ingin menjawab secara cepat, realitas adalah kenyataan, yang ada, yang kita jalani. Jawaban yang seperti ini akan membawa kita kepada suatu keadaan yang tidak dapat kita lihat. Jawaban yang 'ada' menjadi sangat metafisik. 'Ada' itu sendiri menimbulkan pertanyaan, apakah hal tersebut tunggal atau tidak? Kalau anda menjawab bahwa realitas merupakan 'ada' yang tunggal, berarti anda merupakan seorang idealis. Seorang idealis? Hmm, menurut saya orang yang seperti ini adalah orang yang picik. Tidak mau berkembang, hanya mau berkembang pada yang satu saja. Sepertinya, penjelasan ini sangat sulit, saya akan memberi contoh saja. Katakanlah saya seorang idealis yang percaya bahwa realitas saya adalah kedamaian. Maka, segala tingkah laku saya akan melihat dunia itu damai, kalau ada sesuatu yang berlawanan dengan kedamaian, saya menganggap hal itu tidak ada. Padahal ketidakdamaian itu ada, Betapa piciknya saya! Lagi pula, kedamaian yang seperti apa yang saya maksudkan? Damai itu sangat banyak artinya. Kemajemukan arti damai saja sudah menunjukkan tidak ada yang tunggal.
Bantahan saya di atas sudah menunjukkan bahwa saya lebih setuju bahwa realitas 'ada' itu banyak. Dari kemajemukan itulah saya dibentuk, dan saya merupakan salah satu realitas. Tetapi, tiba-tiba saja sang dosen menghentak saya, dia menanyakan apakah realitas yang membentuk saya benar-benar yang sesungguhnya? Reaksi pertama saya, tentu saja bingung. Maksud beliau ini apa? Saya tidak mengerti. Kemudian ia menuntun saya dengan logika, yang sangat masuk akal. Begini logikanya:
Katakan lah saya sebuah realitas.
Salah satu realitas adalah masyarakat.
Masyarakat membentuk saya menjadi sesuatu
Yaitu realitas saya yang sekarang
Lalu, untuk melihat the real "I", maka saya harus melihat masyarakat yang membentuk saya. Apakah masyarakat tersebut benar-benar apa adanya? atau masyarakat ada apanya? Masyarakat tersebut tidak pernah saya ketahui, lalu bagaimana saya mengetahui diri saya sendiri? Apakah lingkungan saya benar-benar terbebas dari manipulatif? Apakah keluarga saya benar-benar merupakan suatu keluarga yang didasarkan oleh keluarga ideal, berdasarkan cinta atau hanya berdasarkan hasrat biologis? Hal ini, membuat saya tersentak. Who am I? Apakah saya manusia yang dibesarkan dalam realitas yang tidak saya kenal? Kalau saya tidak mengenal realitas, bagaimana saya mengenal saya? Kesadaran ini membuat saya benar-benar sedih. Konsekuensinya adalah hidup ini penuh manipulatif, kebohongan. Haaah, saya tidak dapat mengatakan apa-apa.
Salah satu realitas yang manipulatif dapat kita lihat dalam teknologi, dalam jejaring sosial. Apakah data yang diberikan selalu benar? Apakah kita dapat menjamin itu benar? Saya pribadi tidak dapat menjamin. Contoh lainnya, seorang perempuan akan menjadi perepuan yang sesungguhnya jika ia putih, lagsing, berambut panjang dan lurus. Ya, sesuailah dengan stereotype perempuan di iklan kecantikan. Anehnya, iklan tersebut sudah mempengaruhi perempuan lainnya. Mereka berlomba-lomba untuk mencapai perempuan jenis itu. Meminjam istilah Baudrillard, bahkan antara realitas itu sudah menjadi hyper-reality. What is the real reality? We never know.
Memikirkan ini saja sudah membuat saya sedih. Sudah lah. Bahkan teknologi malah menjadikan manusia semakin manipuatif, semakin menciptakan realitas-realitas baru.
Lalu, saya tetap akan bertanya tanya: Saya ini apa??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar