...


Sabtu, 02 Juli 2011

Sebuah Kata Pengantar



Jika dulu saya bisa menjawab pertanyaan kenapa saya memilih filsafat dengan sangat meyakinkan (hingga terkesan sok tau), maka sekarang saya tidak akan mampu menjawabnya. Ini merupakan pertanyaan yang paling sulit, bagi saya sekarang. Satu hal yang saya ketahui filsafat tidak pernah memberikan jawaban. Dengan kata lain jika kalian mengira akan mendapatkan jawaban di filsafat, bersiap-siaplah untuk kecewa. Ada lelucon yang dilontarkan dari dosen psikologi yang mengatakan bawa mahasiswa-mahasiwa psikologi merupakan orang-orang yang terapi jalan atas kekecewaan masa lalu. Maka, bagi saya, mahasiswa-mahasiswa filsafat merupakan orang-orang menyebalkan yang terus bertanya. Yah, saya termasuk orang-orang yang menyebalkan itu.

Jika orang-orangnya saja sudah menyebalkan, maka skripsi inipun tak ubahnya merupakan karya yang 'jangan terlalu dianggap serius'. Karena bagi saya, skripsi filsafat merupakan curhatan sistematis dan teoritis bagi penulisnya, menggunakan istilah Hegel if you have great theory, forget the reality. Untuk itulah saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang mempunyai banyak nama yang menciptakan berbagai kondisi (dari yang saya syukuri hingga saya hujat) yang membentuk saya.

Skripsi ini saya persembahkan kepada Mama, perempuan yang melahirkan saya dan kasih sayangnya tak berani saya ungkapkan dalam kata-kata. Terima kasih kepada Papa, lelaki yang mengajarkan tanpa berkata-kata bahwa manusia itu sangat sulit dipahami (beliau bagai Nietzsche dengan Danaoi). Kak Evi, subyek historis pertama yang saya hadapi. Bang Redi, abang satu-satunya yang menunjukkan sisi feminin dari laki-laki yang tidak saya dapat dari Papa. Kak Feni, kakak sekaligus teman (yah, walaupun saya lebih sering menjadi 'adik'). Kak Mega, kakak ipar yang sabar menghadapi keluarga kami (keep it up, sis). Tentu saja skripsi ini merupakan kecemburuan saya terhadap kedua keponakan, Alika dan Fadhil (semoga kalian berdua tumbuh bukan sebagai korban dunia, Nak). Terima kasih juga kepada keluarga besar yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.

Skripsi ini tentu tidak akan selesai tanpa bimbingan dari Pak Achjar yang membebaskan saya dalam menulis dan mengingatkan saya jika saya sudah terlalu bebas dan tidak fokus. Terima kasih atas kesabaran beliau membimbing saya yang sering menegasinya (saya baru menyadarinya ketika sidang). Terima kasih kepada kedua penguji, Pak Harsa dan Pak Tommy yang menciptakan suasana sidang yang sangat menyenangkan dan nyaman (suasana tak ubahnya seperti diskusi). Terima kasih kepada dosen-dosen filsafat maupun non-filsafat yang merupakan penguji-penguji saya semasa kuliah. Kepada Mbak Upie yang mengajari sisi gombal dari filsafat (terima kasih atas pinjaman bukunya, mbak). Terima kasih kepada Mbak Dwi dan Mbak Mun yang membantu saya dalam kelancaran  proses pra-sidang maupun sidang. Terima kasih kepada filsafat 2005 atas bimbingannya di jalan yang tersesat (dan anehnya, jalan tersebut merupakan jalan yang benar), filsafat 2008 (terutama Bella yang menyemangati saya jauh-jauh hari), filsafat 2009 yang tak hentinya menanyakan kapan saya sidang, sampai saya muak menjawabnya (kalian sangat membanggakan. Beberapa dari mereka minta disebutkan namanya: Lulu, Icha, Lia, Imel, Tennie).

Terima kasih kepada Lia, Reni, dan Gita orang-orang yang saya temui ketika muak dengan kehidupan kota (ayolah, kapan kita ke Karimun Jawa lagi?). Indy (saya lebih senang memanggilnya Respati), obyek psikoanalisa gagal saya dan sayangnya ia mempercayai analisis tersebut. Terima kasih kepada Fettner untuk diskusi demokrasi dengan psikoanalisa (good luck for your radical democracy movement in Big Apple). Flo, Sherly, Besty, Tasya, Muti, dan Asti (terima kasih menemani saya dengan referensi musik yang bagus banget. Kalian penikmat musik yang hebat). Penniman (it's not time heals, but music), dan PG (qui bene cantat bis orat). Terima kasih Kang Jeff, Cinur, Koko, Putra, dan Dana atas semangat yang sering saya abaikan.

Pada akhirnya saya sampai pada bagian yang saya hindari, yaitu mengucapkan terima kasih kepada keluarga berdasarkan ikatan emosional, filsafat 2007. Mengucapkan terima kasih kepada mereka seakan-akan memaksa saya untuk membalas jasa, padahal mereka (saya yakin) sangat tulus. Ini merupakan hubungan yang sulit untuk dijelaskan. Jikapun harus menuliskan siapa yang dari mereka menempati urutan pertama dalam ucapan terima kasih ini, maka menulis secara alphabetis merupakan cara yang paling adil karena mereka semua memiliki tempat yang sama. Adit, Alfa, Angga, April, Chacan, Connie, Dipa, Djohan, Fahri, Fitri, Gaby, Haree, Heri, Isky, Iqit, Kari, Leo, Nia, Nila, Panji, Reni, Richard, Sabrina, Taufik, Tea, Tia, Tika, Weber/Hendri, Winnie, Wira. Terima kasih atas semuanya. Kalian adalah orang-orang yang kehadirannya tidak pernah saya hujat.