...


Minggu, 13 Juni 2010

Saya Tiada dalam Hampa





Berada dalam pencarian tanpa tau apa yang dituju membuat diri kehilangan kendali atas jiwa, kosong menguasai dan menggantikan. Kebas dan helaan, kemudian, silih berganti. Menahan dan melepas sudah tak berarti. Ada yang hilang, memang, tapi kapan jiwa memiliki? Bukankah orang bijak pernah berkata, kau tidak akan pernah merasakan kehilangan jika kau tidak pernah memilikinya? Tapi, tidak demikian dengan manusia yang satu ini, Saya.

Ijinkan saya membuat prolog, walaupun nantinya akan membingungkan. Kenapa pemaknaan selalu berujung pada kata yang menghilangkan diri sebagai pemakna dengan maknaannya? Kenapa makna harus dituliskan dengan kata, bukan ditenggelamkan melalui diam yang menjadikan ekstase? Bukankah dengan demikian kita dapat berorgasme berulang kali karena kenikmatan tiada tara yang tak terungkap dalam lisan maupun tulisan?

Tapi, semua harus dimulai dari awal bukan? Walaupun belum ada akhir yang pasti, awal akan menjadi kisah dari sesuatu, bahkan dari diam yang melahirkan ekstase berujung orgasme. Bukankah dalam kisah selalu ada pemeran ? kali ini pemeran utama dalam kisah ini adalah saya. Lalu, biarkan kisah ini menjadi kisah saya yang tidak sempurna melalui kata. Selanjutnya, biarkan saya menyebut diri sebagai zombie.

Zombie ? hahaha, aneh sekali. Tapi tidak demikian dengan zombie ini, ia merasa tidak ada yang aneh dengan dirinya. Ia dengan angkuhnya menyebut dirinya manusia seutuhnya. Tidak salah memang, bukankah zombie itu manusia? Sayangnya, manusia yang tidak berkesadaran, kosong, berjalan tak tentu arah. Jika kau katakan demikian padanya, pasti akan ditolaknya mentah-mentah. Bahkan ia akan balik menyerangmu dengan kata-kata yang sedemikian dahsyatnya dan acap kali benar. Kata-kata yang seakan-akan ditanamkan dan diprogram pada diri dan otaknya. Sudahlah, lebih baik kau tidak berdebat dengannya. Bukankah dari awal sudah dikatakan bahwa ia tidak berkesadaran? Rasanya sia-sia jika kau berdebat dengannya. Ia yang bahkan tidak sadar bahwa kata-kata itu ditanamkan, ia yang bahkan tidak sadar siapa yang menanamkan.

Hingga, suatu ketika yang tidak tau kapan tepatnya, zombie ini terdiam. Tiba-tiba rasanya lelah untuk berkata-kata dan bertindak seperti biasa. Lalu, diam, hening, sepi, sunyi menyelimuti. Kosong. Ada kerinduan untuk mengisi kekosongan itu. Tapi, zombie tak tau seperti apa yang dapat mengisinya. Menakutkan, tidak ada hal yang dapat dilakukan. Bingung, kalut, berujung pada tangisan tanpa sebab. Ada apa ini Tuhan?

Tuhan? Satu kata yang sudah lama membeku dan tersimpan pada ujung hati dan pikiran yang tak terjamah. Hati? Hah, sudah lama rasanya tidak menggunakannya. Lalu, zombie membongkar ujung-tak-terjamah itu. Tuhan yang telah diberikan padanya bertanda pada agama tertentu. Ia mulai mencari Tuhan pada agama itu, tapi bukannya menenangkan malah membutakan. Rasa-rasanya Tuhan menjadi sesuatu yang jauh sekali pada label itu, kalau sebegitu jauhnya kenapa zombie merasa sangat kehilangan? Bukankah semakin jauh sesuatu semakin tipis keberadaannya dalam diri?

Ah, pasti agama yang membuatnya jauh. Baiklah, mulai saat itu zombie memiliki sendiri konsep akan Tuhan. Tapi, itu terasa kurang lengkap karena zombie baru ingin mengenalnya. Sama seperti kalau kau baru mengenal kekasihmu, yang benar-benar mengenalnya adalah keluarganya bukan ? jadi, kalau kau ingin mengenal Tuhan, setidaknya carilah agama yang benar-benar mendekati citra Tuhan dari konsepmu itu.

Zombie ini terus mencari. Hingga, ia merasa salah satu agama sangat dekat dengan konsep spiritualitasnya. Cukup tertarik, tapi hanya sebatas itu dan kekosongan masih melanda. Ada sesuatu yang terasa sangat menentang dalam agama yang satu ini, terlalu banyak Tuhan yang akan mengisi kekosongan ini. Baginya, itu akan menjadi air yang meluber pada wadah kosong dan pada akhirnya menenggelamkan wadah itu. Cuma itu yang dipermasalahkan, lainnya? Sudah sangat sesuai dengan ketenangan dan perasaan sublime akibat ekstase. Memang, zombie belum orgasme, tapi ia sudah berada di wilayah ekstase. Menyadari hal itu, ia masih mempelajari agama itu dan alam mendukungnya. Seketika itu juga, seakan-akan ada buku yang terlempar.

Buku tebal itu selesai dalam 2 hari 1 malam. Ada yang menyusup ketika mata lelah dan ingin menghentikan bacaan, semacam godaan. Jika kau percaya ada malaikat di kanan dan setan di kirimu, seperti itulah yang kurasakan. Kadang godaan menang dan menidurkan zombie, kemudian malaikat meniupkan kesadaran ketika mata terbuka dari tidurnya. Tak perlu lagi ada istilah nyawa belum terkumpul dari tidur. Dan selesailah sudah buku tersebut.

Hati berdegup kencang mengalirkan panas pada tubuh. Kulit meremang dan mata tergenang. Ada tangisan lagi saat itu, ada sepi saat itu, ada diam. Tapi kali ini, keadaan menjadi tenang, bukan bergolak dalam diam. Ada kesadaran yang mengisi relung jiwa, ketika egoisme akan air yang menenggelamkan wadah terbantahkan.

Kalian bisa membaca sendiri buku itu, karena pemahaman selalu berbeda. Kali ini pemahaman itu berujung pada makna bilangan. Agama yang sangat dekat dengan konsep zombie ini mengatakan bahwa 1=0, 0=1. Dulu, zombie memahami bahwa ini merupakan konsep alam pada agama itu. Dan ia setuju. Zombie selalu mengalami sublime ketika berhadapan dengan alam yang luas, perasaan yang tidak dapat dijelaskan sampai sekarang. Ketika perasaan itu muncul, manusia (1) menjadi tak bernilai (0) di hadapan alam, tetapi dari alam lah (0) manusia menjadi ada (1).

Kemudian buku ini memainkan konsep itu terhadap Tuhan bagi agama tersebut. rumusan itu buatan manusia yang menjadikan 0 selalu tidak memiliki arti. Kemudian 1 menjadi bilangan yang keliatannya angkuh, karena Cuma dengan 1 jugalah ia dapat dibagi. Sementara bilangan lain selalu dapat dibagi oleh 1. kemudian pemahaman ini menunjukkan Tuhan sebagai yang 1, yang berkuasa atas yang lainnya. Tuhan yang Esa menjadi terpisah dan jauh karena kekuasannya. Manusia terkadang lupa ada bilangan 0 yang dilupakan. Bahkan jika 0 dimasukkan dalam deretan bilangan (0,1,2,3,4,5,6,7,8,9), jumlah dalam deretan itu tidak sesuai dengan deretan terakhir. Inilah, kenapa 0 dibuang jauh setelah pemahamannya berujung pada kekeliruan. Dan konsep menjadi 1≠0, 0≠1.

Titik (●) yang selalu bermakna pada akhir menggambarkan 0, yang kemudian kita simpulkan karena bentuk mereka sama yaitu lingkaran. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam lingkaran ada akhir? Apakah ia memiliki ujung seperti layaknya 1? Tentu saja tidak, 1 memiliki ujung yang bisa bermakna pada awal dan akhir. Lalu, dapatkah Tuhan berakhir? Dapatkah 1 menjadi simbol Tuhan? Bukankah Tuhan lebih baik disimbolkan 0?

Baiklah, mari kita ganti Tuhan sebagai yang 0. Tuhan tetap terasa jauh, karena Ia tidak dapat dimasuki oleh ciptaannya. Ia tertutup. Konsep tetap menjadi 1≠0, 0≠1.  Belum 1=0, 0=1. Hanya saja, tambahannya menjadi 1=manusia, 0=Tuhan. Nah, dalam agama yang membuat zombie tertarik, ketika dikatakan bahwa manusia yang memiliki kesadaran akan Pencipta akan menyatu. Karena sebenarnya Ia dan kita menyatu dalam kesadaran murni manusia. Indah ya, ketika Ia benar-benar dekat, tidak jauh dan angkuh dengan segala ke-Ia-annya.

Masih inginkah kau menyimbolkan Tuhan dengan 1 ataupun 0? Ada baiknya jika kita membuat angka yang khusus buat Tuhan. Menurut zombie, bilangan itu menggabungkan 1(manusia) dengan 0(Tuhan). Jadinya, seperti ini:


(Maaf, gambarnya jelek. Saya tidak ahli dalam menggambar)

Hei, lihat tidak bagaimana bilangan ini tidak berakhir tapi memiliki awal. Bilangan ini terus membesar, becoming. Pemahaman selanjutnya adalah spiritualitas manusia selalu ‘menjadi’, tidak pernah selesai. Ada proses dalam spiritualitas itu yang menghubungkan manusia dengan alam agar mencapai Pencipta. Heidegger juga memakai konsep ini dalam penjelasan Das Sein. Bukankah keyakinan ini begitu indah?

Berawal dari buku, proses spiritualitas zombie akan berlangsung. Terima kasih, Bilangan Fu. Sang zombie tetap mempelajari spiritualitas itu. Terima kasih, Hindu


Minggu, 06 Juni 2010

Tidak ada Agama yang Sempurna

Hey, life!!
How are you?
Hm, sudah lama saya tidak menulis dan bermonolog dalam penderitaan tiada henti. As I know, saya tidak kreatif kalau tidak menderita. What a pathetic me! Haha, sudahlah. Rasanya tidak perlu mengkasiani (gimana sih tulisannya) diri sendiri. Life is always about how, never be what.


Oke life, let's start the monologue. Saya ingin mulai dari salah satu dialog film (ya, lagi-lagi berawal dari film) Angels and Demon. Ini merupakan film kedua yang diangkat dari novel Dan Brown setelah The Da Vinci Code. Kedua karya Brown ini masih berputar dalam ranah agama, history, and konspirasi. The Da Vinci Code memberi kesan 'penasaran' bagi saya. Benar gak ya Leonardo Da Vinci memberi tanda pada karya-karyanya yang erat berhubungan dengan agama Katolik? Sementara, Angels and Demon menghentak keraguan saya terhadap agama. Hentakan ini membuat saya malu sendiri. Saya malu terhadap logika pengagungan rasionalitas saya yang menyingkirkan agama.


Sebelumnya, saya sangat benci dengan agama. Akan tetapi, saya masih percaya pada Tuhan. I guarantee my faith. Kebencian saya dimulai saat agama mengatur sisi spiritualitas manusia. Bagi saya, spiritualitas manusia itu berbeda-beda, gak ada yang sama. Lha, ini agama malah mengatur dan mengerucutkan perbedaan itu. Saya Islam karena orangtua saya islam, kemudian agama mengatur bahwa seorang muslim harus seperti ini-itu untuk mencapai Allah. Nah, kalau tindakan saya di luar ini-itu, saya akan dikatakan tidak Islam. Jahat sekali agama yang seperti itu. Tindakan mereka sudah melampaui Tuhan sendiri, karena berani memutuskan sesuatu yang sama sekali bukan berdasarkan Tuhan. Bagi saya, agama semacam politik. And you know that I really hate politic. I never understand their dirty way to persuate people and to get power. Agama itu wujud lain dari politik, dan itu kotor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran wahyu Tuhan, yang sangat didominasi laki-laki dan menjadikan manusia tunduk pada pemerintah. Hell yeah, that's why I never believe in religious.


Masalah Tuhan bagi saya sangat private, tidak bisa disatukan dalam institusi. Oke, saya Islam. Tapi, cara saya bergulat dengan Tuhan tidak dapat dilihat dari rajinnya saya sholat 5 waktu atau tertutupnya tubuh saya. Spiritualitas saya terisi ketika saya berdiam diri, bercakap-cakap dengan Tuhan layaknya sahabat, ketika saya minum dan mabuk, ketika saya melakukan hal lain yang dikatakan maksiat oleh agama. Bagi saya Tuhan yang seperti itu sangat dekat dengan hambanya, bukan sesuatu yang arogan nan jauh di awang-awang. Ketika saya berdiam diri, saya akan menangis sendiri tanpa sebab. Kesendirian saya ditemani oleh-Nya dalam meresapi sesuatu yang saya sendiri tidak tau, tapi saya lega karena Tuhan memahami. Ketika saya bercakap layaknya sahabat, saya bebas menghujat Dia secara tidak langsung karena ketidakpuasan diri terhadap hidup. Ketika saya minum dan kemudian mabuk, saya bisa percaya pada-Nya bahwa Ia akan menjaga saya di dalam ketidak-sadaran diri. Ketika hal maksiat saya lakukan, saya semakin mengagumi-Nya karena tubuh dan jiwa yang diciptakan dan berfungsi dengan baik.


Lalu, apakah saya masih Islam? Kalau saya lemparkan tulisan ini pada pemuka agama, maka jawaban mereka pasti: Kamu dilaknat, kafir, murtad, dan bla..bla.. I don't care. Kalau saya percaya percakapan mereka, berarti saya membuat jarak dengan Tuhan saya melalui mereka. Makanya saya tidak percaya pada institusi agama. Terlebih lagi, agama itu hasil kebudayaan. Jika agama semuanya sama, baik agama Islam di Arab, Amerika, dan Indonesia seharusnya sama. Atau ekstrimnya, tidak ada perbedaan agama.Tidak ada yang namanya perang antar-agama bukan?


Saya mungkin salah satu penghujat agama yang paling keras, sampai sang pastur dalam film tersebut mengatakan:

Tidak ada agama yang sempurna. Sama halnya dengan ketidaksempurnaan manusia

Ya Tuhan, saya menghujat agama karena mereka tidak mampu mewakilkan saya dalam spiritualitas. Memang, agama itu hasil budaya yang berarti buatan manusia. Jika manusia saja tidak ada yang sempurna, apalagi dengan hasil buatan manusia itu. Pasti jauh dari sempurna. Lalu, hujatan saya terhadap agama sebenarnya hujatan saya terhadap diri sendiri yang merasa kecewa dengan ketidaksempurnaan saya. Hujatan saya bertubi-tubi karena saya mengharapkan sesuatu yang lebih dari agama, dan harapan itu tidak terpenuhi. Sampai kapan pun agama tidak akan sempurna. Lalu, apa yang sebenarnya saya hujat? Buat apa saya menghujat agama, kalau saya tidak bersedia ikut dalam agama tersebut?

Jika, anda bertanya apa agama saya, saya akan menjawab sebenarnya bahwa agama saya Islam. Spiritualitas saya mungkin tidak islami, tetapi saya beragama Islam dengan cara saya sendiri. Akan indah sekali beragama jika berdasarkan kesadaran akan spiritualitas. Tidak akan ada lagi otoritas dalam agama yang berujung pada politik.

*Anyway, saya sedang tertarik dengan agama Hindu. Entah kenapa rasanya spiritualitas saya lebih dekat dengan Hindu. Saya sangat berterima kasih sekali jika teman-teman mengajarkan saya tentang Hindu. Namaste*