...


Rabu, 30 Desember 2009

Saya menyatu dengan pantai

aPutih, lembut, berbisik, kemudian berderu
Biru, menyapa, menyelimuti, kemudian mengarahkan
Saya, diam, menghayati, dan tak kuasa

Berbaring di kelembutannya
Menyatu dalam keramahannya
Dan mulut terdiam, hanya rasa berbicara

Saya, diam, ingin mati
Dia, putih, dan menemani
Lalu, dia, biru, dan memahami

Menari, bersembunyi, muncul tiada henti
Mengajak untuk serta
Tapi diri tetap mengagumi

Ini, saya kembali diam
Bersama putih, biru
Dan tak kuasa

Minggu, 06 Desember 2009

Siren, the cruel of beauty

Saya sedang tergila-gila dengan salah satu tokoh mitologi Yunani, Siren. Tokoh yang satu ini mungkin tidak setenar Zeus, Hercules, Hera, ataupun lainnya. Bahkan nama Siren, sejauh ini, tidak pernah diangkat dalam pembahasan filosofis layaknya Sisyphus yang diangkat oleh eksistensialisme absurd Albert Camus.

Siren, bagi saya sangat mewakilkan para perempuan. Pribadi perempuan, menurut saya, haruslah seperti Siren. Kesadisan yang diliputi oleh keanggunan. Keindahan yang bersanding dengan kemisteriusan, yang membuat orang lain terlena, dan tertipu. Ada baiknya kalau saya menceritakan mitologi Siren terlebih dahulu.

Siren merupakan makhluk mitologi Yunani yang hidup di lautan luas. Bangsa Siren memiliki kelebihan, yaitu suara yang luar biasa merdu yang membuat para pelaut terbuai dengan kemerduannya. Mereka mencari asal suara merdu itu dan kemudian kapal mereka akan tenggelam karena terbentur dengan karang, tempat dimana para siren menyanyi.

Salah satu pertemuan dengan Siren diceritakan dalam Odyssei. Suatu ketika, saat Odysseus harus melewati pantai berkarang yang dihuni oleh para Siren, ia menyuruh seluruh awak kapalnya untuk menyumbat telinga mereka dengan lilin agar tidak mendengar suara para Sirenyang menghanyutkan hati. Ia sendiri ingin agar dirinya diikat pada tiang dengan tidak menyumbat telinga karena penasaran seperti apa nyanyian para Siren tersebut. Ketika ia mendengar suara merdu para Siren, ia memberontak dan menyuruh awak kapalnya agar melepaskan taliyang mengikat dirinya di tiang kapal. Para awak kapalnya menolak. Ketika kapal mereka sudah jauh dari Siren, Odysseus berhenti memberontak dan menjadi tenang, setelah itu dibebaskan. (Odyssei XII, 39).

Kisah pertemuan dengan para Siren juga diceritakan dalam petualangan Jason, Argonautica. Chiron memperingatkan Jason bahwa Orpheus kelak akan sangat berguna dalam perjalanannya. Ketika Jason dan kapalnya melewati pantai berkarangyang menjadi habitat para Siren, Orpheus mendengar suara mereka yang merdu. Lalu ia memainkan harpa dengan nyanyian yang lebih merdu daripada nyanyian para Siren. Karena merasa kalah, para Siren menceburkan diri ke laut. Akan tetapi, sumber lain mengatakan bahwa Orpheus diselamatkan oleh Aphrodite.

Beberapa sumber mengatakan bahwa jumlah Siren hanya dua atau tiga. Sampai sekarang jumlahnya tidak dikatakan secara jelas. Akan tetapi, kesimpulan yang dapat kita tarik adalah Siren bukanlah suatu bangsa, layaknya putri duyung. Mereka merupakan anak dari Achelous, the God of River.

Sampai sekarang, tidak ada yang tahu lirik yang dinyanyikan oleh Siren itu apa dan bagaimana sehingga membuai para pelaut. Satu hal yang kita tau adalah apabila kita mendengarkan liriknya, maka kematianlah yang menyambut sang pendengar.

Misterius dan sadis, memang gambaran bagi Siren. Itu juga yang merupakan kekaguman saya terhadap mereka. Walaupun mereka terkenal dengan kesadisan, mereka juga menjadi simbol bagi keindahan seni. Mereka menjadi simbol bagi keindahan perempuan. Mereka menjai simbol kehidupan.

Hidup selalu memaksa kita untuk menghadapi dengan senyuman.Kita mengetahui bahwa hidup tidak akan pernah indah. Keindahan hanya kita yang menampilkan, bahkan ketika menetahui dibalik keindahan itu adalah suatu kepahitan. Ya, hidup sudah selayaknya Siren. The cruel of beauty.

Saya mengagumi Siren, yang berusaha menyadarkan orang lain akan kemunafikan dari keindahan dan hidup

Waterhouse, John William


Sumber lainnya:
http://www.thanasis.com/sirens.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Siren