...


Jumat, 30 Oktober 2009

Ini hanya goresan (ku)

Ini saja yang dapat ku lakukan
melalui goresan yang sarat makna, bagiku
Ini saja yang dapat ku sampaikan
melalui bungkamnya bibir, hanya rasa

Goresan ini sudah ku mulai
tanpa isyarat berarti, bagimu
Tapi sudahlah, ini hanya goresan isyarat
cuma ini saja, tidak lebih

Lalu, tetap akan ku goreskan
Karena kau juga tergores dalam
terukir, terpahat, terbuai asa
Di hati ini

Sabtu, 17 Oktober 2009

Bintang (adalah) Masokis

Saya selalu mengatakan bahwa hidup ini merupakan penderitaan, dan saya menikmati itu. Makanya, saya selalu memandang sesuatu adalah penderitaan, dan teman-teman saya mengetahui hal itu. Entah mengapa, mereka memberikan label bahwa saya sangat pesimis. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang salah paham. Mereka menganggap bahwa saya sedemikian putus asanya terhadap penderitaan, hingga saya terobsesi dengan kematian. Oh iya, selain selalu mengatakan bahwa kehidupan ini merupakan penderitaan, saya juga mengatakan bahwa hanya dengan kematian lah kita dapat terbebas dari penderitaan ini.

Back to theme, dan kesalah pahaman teman-teman saya, mereka menganggap saya terobsesi dengan BUNUH DIRI. Salah paham ini semakin menjadi, setelah saya mengambil tema, untuk tugas, tentang bunuh diri dan etika. Nah, man, saya tidak sepesimis itu dalam penderitaan saya. Penderitaan ini sangat saya nikmati, kok. Kalau saya bunuh diri, well, saya tidak akan menderita lagi. Dan itu artinya juga, saya kehilangan nikmat saya. Saya tidak mau itu.

Kenapa saya senang dengan penderitaan? Atau saya cuma pura-pura senang saja padahal saya tersiksa? Hmm, susah juga untuk menjelaskannya. Saya akan mulai dari masalah yang dihadapin manusia. Pastilah, yang namanya manusia tidak lepas dari masalah. Selalu ada masalah. Karena kita ini, meminjam kata Heidegger, terlempar begitu saja dalam ruang dan waktu. Dan parahnya lagi, kita harus mengikuti semua itu, aturan2 yang bukan kita buat. Kita harus berinteraksi dengan semua orang, yang pikirannya tidak sama dengan kita. Selalu saja terbentur dengan ini-itu. Selalu saja ada power yang lebih dari kita, dan kita terhalang oleh power itu. Kita sangat terbatas dengan keadaan, dan kita menyadari itu. Ilmu pengetahuan dan kemajuan lainnya hanya untuk 'menyemangati' diri atas segala keterbatasan ini. Lalu, kita menjadi terbiasa dengan penderitaan dan keterbatasan ini. Terlalu terbiasanya, sampai kita lupa bahwa kita memiliki penderitaan itu. Kita terlupa bahwa kita manusia, dan terlupa akan sakit ini. Lalu, pada akhirnya kita terlupa bahwa hakikat hidup ini adalah penderitaan.

Coba, ingat-ingat kembali, berapa perbandingan kesenangan dan kesedihan kita? Apakah kita benar-benar senang pada waktu rasa senang itu? Atau, jangan-jangan, kesadaran akan hakikat itu sudah sedemikian menumpulnya hingga kita tidak tau kesenangan itu apa dan kesedihan serta penderitaan itu apa? Segala macam yang diciptakan, hanya untuk menggembirakan kita saja, bukan? Itu artinya, kita perlu ada yang membahagiakan hidup yang menderita ini. Kita menciptakan segala sesuatu untuk mencapai kepastian, nah, berarti hidup itu sendiri tidak pasti

Lalu, kenapa saya-kali ini saya menempatkan persepsi saya- senang akan penderitaan ini? Kenapa saya menikmatinya? Hell yeah, saya sendiri tidak tau kenapa. Walaupun, perasaan ini selalu tersakiti dan menangis perih, saya sangat menikmatinya. Saya sangat menikmati tiap-tiap kesakitan ini, saya sangat menikmati setiap keperihan ini. Terkadang, malah saya tidak sanggup, karena sungguh saya tidak sekuat itu. Karena saya sangat menyadari bahwa saya manusia biasa, sama seperti manusia-manusia lainnya, yang biasa. Semua manusia itu sama, tidak ada ukuran yang pasti kenapa ada perbedaan. Back to the theme, saya menikmati penderitaan itu. Dengan demikian saya adalah manusia, dan saya tidak munafik atas hidup ini-dan ini menurut saya- dan tidak berusaha 'menegarkan' hati yang rapuh ini.

Lalu, bunuh diri? No way, man. Bukan saya saja yang menderita di sini. Bukan saya saja yang punya penderitaan sebegitu besarnya. Dan bukan saya saja yang hidup di dunia ini. Walaupun, saya tidak dapat mengukur kedalaman dan ketahanan seseorang terhadap penderitaan. Saya menikmati penderitaan. Dan saya tidak mau bunuh diri hanya karena hakikat manusia, menurut saya, adalah penderitaan. Hidup ini, mengutip kata teman saya, adalah perjuangan. Bunuh diri berarti sama dengan munafiknya manusia terhadap hidup ini. Sekali lagi, saya bukan orang yang memunafikan penderitaan dan hidup

Rabu, 14 Oktober 2009

Napas ini (juga) menyakitkan

Perasaan ini memendam
Tak ada celah yang dapat mengkaramkan asa
Pelampiasan cuma jadi sesalan
Maka, terpendam
Lagi, terus, dan lagi

Cahaya ingin mencahaya
Tapi itupun terasa menyiksa
Meredup dan menutup menjadi jalan
Sakit pun tak tertahan

Napas,menghela lah
Jangan sampai diri yang terhempas
Aku tak ingin menjadi kebas oleh rasa
Diburu oleh jahat
Dikuasai ole raksasa

Aku mulai menarik,
sangat sakit.
Lalu Ku hela
tidak berkurang.
Hidup ini menjadi biasa

Oleh sakit, derita
Dan sia-sia

Rabu, 07 Oktober 2009

Coba rasakan

Kau ingin mengetahui aku?
Atau ingin merasakan menjadi aku?
Sungguh, kau tidak akan pernah bisa
Sungguh, kau tidak akan mengerti

Tapi, bila kau tetap memaksa
Baiklah

Coba kau tertidur beratapkan langit dan berjuta bintang
Memang akan sangat indah dan nyaman, tapi tunggu dulu
Ketika kau tertidur dengan beralaskan rerumput yang basah
Oleh tangisan langit indah yang sedang kau pandangi dan nikmati

Sungguh, itulah aku.
Sekali lagi, kau hanya melihat dari luar
Hanya merasakan dari luar
Tapi kau tidak pernah merasakan ketegaran dalam kelemahan ini.

Kau sudah bisa mengerti?
Kalaupun iya, aku mohon jangan
Karena rasa menjadi aku sungguh perih