...


Sabtu, 26 September 2009

Ketika hanya terungkap dengan tulisan

Papa, memang semua manusia memiliki kesalahan. Begitu juga Papa. Manusia berbuat salah, mungkin salah satu sebabnya, karena mereka tidak tau apa yang mereka lakukan. Manusia memang bukan makhluk serba tau, Pa. Makanya, Papa berbuat kesalahan itu wajar. Ketika anak Papa ini menyadari alasan itu, perasaan ini semakin abstrak. Anakmu ini bukannya menjadi tenang, malah semakin kosong. Anakmu ini semakin bingung.

Ingin sekali, adik (hanya Papa yang memanggil adik) berbicara padamu. Bukan pembicaraan yang menyinggung kesalahan Papa. Karena adik tau, disinggung pun, tidak akan mengubah keadaan. Adik hanya rindu berbicara hangat, bermanja, tertawa sama Papa. Adik rindu hubungan ayah-anak yang memang dari dulu tidak ada. Hubungan itu tidak pernah ada, karena Papa selalu sibuk, sibuk, dan sibuk bekerja. Adik tidak menyalahkan Papa. Adik tau Papa demikian untuk kami, keluargamu. Papa hanya tidak ingin kami susah, Papa beranggapan bahwa dengan berkecukupan kami bisa senang. Adik tidak menyalahkanmu, Pa

Orang-orang bilang, Papa orangnya keras dan egois. Memang itu benar. Tapi, adik beranggapan bahwa karena hubungan keluarga kita yang tidak semestinya dikatakan keluarga terjalin. Kita tidak seperti keluarga, di rumah jarang berbicara. Bahkan bertegur sapa kalau bertatapan di dalam rumah pun jarang. Kita bagaikan orang asing, ya Pa. Keluarga kita sangat 'dingin' ya Pa? Pasti Papa tersiksa dengan keadaan yang seperti ini, sama seperti adik yang juga tersiksa. Papa juga mungkin menyalahkan diri Papa kenapa keluarga kita seperti ini. Dalam pikiran Papa, apa aku kurang memberikan materi pada keluarga ku? Makanya Papa terus bekerja dan bekerja. Adik tau darimana? Anakmu ini memiliki darahmu Pa, adik setidaknya tau apa yang Papa rasakan.

Lalu, masalah keluarga bertubi-tubi datang. Papa sebagai kepala rumah tangga pasti merasakan beban yang berat. Papa ingin berdiskusi untuk menyelesaikannya, tapi kepada siapa? Keluarga kita seperti itu, bahkan anakmu pun seakan tidak memandangmu. Papa seakan pohon uang bagi kami, anak-anakmu. Adik pun sadar telah bersikap begitu padamu Pa. Anakmu meminta, langsung diberikan. Kami menjadi terbiasa dengan meminta, tidak melihat susahnya kau bekerja. Maafkan adik Pa. Aaah, andai Papa tau, betapa adik ingin mengucapkan kata maaf itu. Di tengah masalah yang demikian menimpa, Papa berbuat kesalahan..

Keluarga tambah kacau kan Pa? Adik tidak menyalahkanmu Pa. Adik malah melihat di tengah kekacauan yang Papa perbuat, adik malah melihat ada hubungan keluarga terjalin. Walaupun kacau. Rasanya aneh sekali, keadaan itu malah ada setelah kesalahan. Akan tetapi, ya, kita semakin kacau. Adik bahkan tidak sanggup untuk menambahkan kalimat penjelasan dari kacau itu. Adik, bahkan kita semua, bisa merasakan tapi tidak bisa menjelaskan.

Aah, adik tidak sanggup lagi untuk menuliskan lagi. Adik hanya ingin mengatakan, sebelum semuanya tidak sempat terkatakan :
Kesalahan apapun yang Papa perbuat, Papa tetaplah Papa adik.Tapi, bukan berarti adik setuju dengan kesalahan itu. Adik sayang sama Papa.

Sungguh, adik sangat ingin mengatakan hal itu. Tapi keluarga kita beku Pa. Adakah yang mampu mencairkannya?

Goresan (hanya) terlihat di kecerahan, sayang

Kau kembali menyapa dan ingin membekaskan asa lagi padaku. Mungkin, kalau kau lakukan pada masa itu akan berhasil. Pasti akan selalu berhasil, aku jamin itu. Tapi, sayangku, tidak untuk masa ini. Cukup sudah, kau berbuat demikian. Perbuatanmu dahulu bahkan membuat ku beranggapan no more lil shine star because the shine doesn't bright anymore. Aku memang bodoh waktu itu, aku akui.

Tunggu dulu, sayang, aku tidak menyalahkanmu. Digoresan yang membentuk tulisan ini aku hanya ingin mengeluarkan apa yang ingin aku katakan padamu. Ingatlah sekali lagi, sayangku, aku tidak menyalahkanmu. Apabila kau membacanya, mungkin kau akan mengerti kekesalanku pada sifatmu yang tidak jelas itu.

Ya, aku sudah mengeluarkan kata pertamaku. Ketidakjelasan.
Memang, aku bukan apa-apa di matamu. Aku bukan siapa-siapa, aku menyadari status itu. Tapi, tidak cukupkah kau untuk berhenti menganggapku istimewa di antara yang lain? TIdak bisakah kau berhenti bertindak dan berucap selayaknya kau berkelakuan dengan teman-temanmu? Aku sadar, jika aku berkelakuan sepertimu, maka aku yang akan jatuh. Bukan berarti aku yang kalah, karena bagiku kalah dan menang itu biasa. Tapi, kalau aku terjatuh pada dasar yang jauh, bisa-bisa aku yang mati duluan. Mati di tengah keterjatuhan itu. Aku tidak mau.

Aku akui, aku takut. Maka lebih baik aku menghindar saja. Lalu, kenapa kau seakan tidak rela? Bahkan tali itu semakin mengikatku. Sepertinya, kau senang di atas ketidakjelasan ini. Tunggu dulu, sayang, aku tidak menyalahkanmu. Karena mungkin ketidakrelaan itu karena keterbiasaan yang sulit untuk dilepas. Aku mengerti. Mungkin saja, keinginan ku tidak pada waktunya. Maka,aku kembali tersiksa, dan kali ini tambah menyiksa.

Goresan pun semakin menghantam pasir, membuat gambaran yang sulit untuk dihapus. Semakin jelas terlihat oleh para mata yang ada. Semakin diketahui. Aku tidak senang dengan tatapan itu. Mereka melihat goresan, bukan melihatku.Semakin cerah, semakin terlihat. Sang air pun tak sanggup untuk menggapai goresan untuk menghapus.
 Tunggu, sayang, aku tidak menyalahkanmu. Sepertinya goresan itu indah. Maka aku membiarkannya. Walaupun aku tidak dilihat. Tak mengapa.

Ketika sudah mulai terbiasa, entah mengapa waktu itu datang. Mungkin, sang waktu tak mau aku terbiasa, yang menjadikan sinarku tertutup oleh goresan sakit itu. Kita berpisah, dan goresan itu tertutupi dengan mata-mata yang memiliki badan serta kaki. Goresanmu tertutupi oleh jejak yang lainnya.Aku mulai menjalani kehidupan. Walaupun, tidak sepenuhnya aku lupa akan goresan itu.

tenang, sunyi, damai,bahagia, lepas..........
Aku bahagia, dan kau datang kembali dengan kelakuanmu. Mencoba menggores kembali. Lalu seakan-akan aku membiarkanmu. Ah, jangan senang dulu, sayangku, dulu aku lupa siapa diriku. Aku ini bintang. Kau ingat, kapan aku muncul? Ya, sayang, pada malam hari.

Kau mau menggoreskan lagi? Silahkan, sayang.
Karena goresan itu tidak akan terlihat di saat aku muncul, malam hari. Dan bersama rembulan serta air, goresan mu esoknya akan terhapus. Karena hukum alam, sayang. Aku ini bintang yang menyatu dengan alam sekitarku.

Aku tidak menyalahkanmu, sayang. Aku akan kembali menjadi pantai di atas yang
tenang, sunyi, damai,bahagia, lepas..........

Kamis, 24 September 2009

About Consciousness being myself

Belakangan ini saya sedang suka-sukanya nonton dvd. Mungkin untuk membuang rasa jenuh dan kesendirian yang terasa sepi. Walaupun saya sangat suka kesendirian, terkadang rasa sepi sangat menakutkan. Maka, mulailah saya menonton beberapa film.

Semalam, saya menonton Being John Molkovich. Kenapa saya tertarik menonton film ini? Mungkin karena film ini terlalu sering disebut oleh dosen saya, Bapak Harsawibawa, dalam perkuliahan Philosophy of Mind. Beliau selalu bilang, bagaimana mind itu sebenarnya. Sebenarnya, saya ingin menggunakan sekali kata "Apa" dalam kalimat sebelumnya. Akan tetapi, saya sangat menyadari bahwa definisi dari kata "Apa" hanya akan memberikan penjelasan secara jelas. Sementara mind sampai sekarang tidak dapat saya jelaskan.

Berbicara masalah kesadaran, ada suatu kalimat dalam film itu yang sangat membuat saya tertarikuntuk berpikir. How lucky you are being a monkey. Because consciousness is terrible curse. Benarkah kesadaran itu sebuah kutukan? Seberapa beruntungnya 'sesuatu' yang tidak memiliki kesadaran? Atau, benarkah yang dinamakan makhluk tidak memiliki kesadaran?

Sebelum ber-monolog terhadap pertanyaan yang saya buat sendiri, saya akan melanjutkan mengapa sang tokoh mengucapkan kalimat seperti itu. Kemudian,lanjutan kalimatnya adalah (kurang lebih saya mengartikannya seperti ini), karena manusia selalu merasakan, memikirkan, mencemaskan, dsb, yang terkadang membuat manusia (dalam kasus ini adalah dia) 'sakit'. Manusia tidak tahan akan perasaan sakit itu. Hmm, mungkin saya paham apa yang dia maksudkan. Walaupun saya tidak mengucapkan I feel what you feel, karena menurut saya kalimat ini munafik sekali. Bagaimana mungkin orang yang berbeda merasakan perasaan yang sama? Yang ada mungkin kalimat, setidaknya saya merasakan apa yang kamu rasa sesuai dengan perasaan saya. Oke, saya belum memberikan respon saya terhadap alasan mengapa tokoh utama mengatakan demikian.

Lalu, mari lompat ke scene selanjutnya dalam film tersebut. Jalan cerita tersebut membuat seseorang yang menjadi 'obyek' orang lain untuk masuk ke badannya. Dengan kata lain, sang obyek tidak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri, karena kesadaran atau seluruhnya-selanjutnya saya akan mengatakan mind, diisi oleh orang lain. Jadi, sang obyek tidak akan merasakan 'sakit' yang dikeluh kesahkan pada paragraf sebelumnya. Ahay, keliatannya enak ya. Saya tidak merasakan diri saya sendiri. Karena terkadang, dunia terlalu kejam dan paradoks untuk dijalani. Tapi, saya tidak akan memilih hal ini walaupun ditawarkan.

Saya lebih memilih untuk memiliki rasa 'sakit' itu daripada hidup seperti zombie atau benda mati. Bukan, bukan karena saya adalah seorang masokis. Saya memiliki alasan kenapa saya memilih hal itu. Manusia memang harus berada dalam suatu situasi yang terkadang menyakitkan. Kita tidak bisa memilih untuk hidup seperti yang kita mau. But, hey kalaupun pilihan itu ada dan ditawarkan pada saya, saya tidak akan mau. Saya tidak mau hidup dalam dunia yang membuat saya 'tumpul' karena kenyamanannya yang sesuai dengan kehendak saya. Bagi saya, masalah adalah pengalaman yang paling berharga. Akan tetapi, karena saya sadar bahwa saya tidak mungkin hidup dalam dunia yang begitu nyaman, maka saya secara sadar menghadapi masalah.

Jujur saja, terkadang ketika masalah sudah berhadapan dengan saya dengan muka yang menakutkan, terkadang saya lelah juga. Terkadang saya ingin menyerah saja dan memilih sebagai zombie. Ahahaha, sepertinya saya tidak konsisten dengan ucapan saya. Karena saya tau bahwa manusia itu paradoks, jadi hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi, hal itu hanya berupa keinginan saja, dan tidak mungkin terealisasi. Dan saya mengucapkan syukur akan hal itu. Saya selalu yakin bahwa saya akan menjadi biasa karena keterbiasaan tersebut. Dan saya yakin bahwa hal itu tidak akan terlalu menyakitkan saya. Saya tidak terlalu takut lagi menghadapi masalah atau hidup.

Lalu, apakah saya menjadi orang yang dingin terhadap hidup? Kata siapa? Tentu saja saya suka meluapkan perasaan saya. Meluapkan perasaan itu juga merupakan bagian dari kesadaran. Bahkan berpandangan dingin pun bagian dari meluapkan perasaan. Manusia itu makhluk yang berperasaan, bahkan yang memiliki logika sangat kuat pun. Jadi, jangan mengatakan saya tidak berperasaan. I show what I feel with my own way, like you do. Oia, bahkan beberapa teman saya mengatakan bahwa saya sangat kuat, perempuan yang kuat. Kata siapa? Saya terkadang lemah juga, tetapi saya tidk mau berlarut-larut. Saya selalu merenungkan hal yang membuat saya lemah, dan akhirnya membuat saya bangkit lagi.

If you ask me, "Do you wanna being someone else and lose the pain?"
Saya akan menjawab, I wanna being myself and feel all. I care about pain and happy. Buat apa menjadi orang lain yang bahkan kamu tidak tau siapa kamu sebenarnya.

Notes:
-Terimakasih kepada Bapak Albertus Harsawibawa yang selalu mengulang-ulang judul film itu. Sehingga saya bermonolog dan sadar
-Cetakan tebal merupakan kalimat yang keluar sejalan dengan monolog ini.

Selasa, 22 September 2009

Bintang (sedang) merindukan cumbuan

Malam ini sungguh sang bintang merindukan cumbuan pantai.
Merindukan deburan, pasir, biru, karang, dan makhluk lainnya.
Bintang merindukan bercerita dengan pantai, yang menelan semua suara ceritanya.
Sungguh, untuk berteriak pun bintang tak akan malu lagi.
Karena sang teriakan ditelan dan menjauh dibawa sang ombak.

Ya, bintang rindu kepada pantai
Karena hanya ia yang mampu membujuk sang sinar untuk melegakan asa
Pantai lah yang mengerti semua keterdiaman bintang
Bintang hanya butuh dirasakan dan didengarkan
Tidak butuh untuk tindakan balasan

ah, pantai...
Kapan aku dapat merasakan hangatnya butiran pasir yang menenangkan jiwa?
Kapan aku ternyamankan dengan nyanyian deburan airmu?
Kapan aku dapat tiba-tiba menangis memandang putihnya awan menggambar sang biru?
Kapan aku tersatukan dengan penghuni lautmu?

Bahkan, kapan aku meluapkan asa diri yang kau telan setelahnya?

Sungguh sang bintang sangat merindukan kenyamanan
Kemengertian
Kehangatan
Keterdiaman
Dan kesunyian pantai.

Sungguh kali ini san bintang ingin meluapkan semuanya
Dalam asa
Air mata
Teriakan
Atau keterdiaman


Yang bintang butuhkan hanya cumbuan pantai

Sabtu, 19 September 2009

Bintang Bersinar demi Meredup

aKembali menatap sang sinar pujaan yang meredup
Seakan kehilangan cahaya diri untuk selamanya

Lalu, bintang ini mendekat
Dan memberi secuil cahaya

Berharap sang sinar pujaan tidak menjadi kelam
Dan menyadari secuil cahaya dari bintang ini

Tetapi,
Kali ini sinar sang bintang yang meredup

Sebelum disadari
Sebelum didekati

Jumat, 18 September 2009

Bintang ini (sedang ingin) Menangis

Sinar ini memang ingin meredup
Tapi tak kuasa
Bagaikan terpaksa, harus kuasa
Tak bisa menghela

Bintang ini terasa lelah
Menanggung semua asa
Tanpa tau harus meletakkan asa
Dan kembali menjadi bintang kecil

Cahaya ini harus bersinar
Demi yang memaksa
Dan menaruh asa
Sang bintang sendiri

Bintang ingin tertawa
Menggelegar, terbahak
Tapi, tawa rintih dan air
Tercampur menjadi nyata

Bintang (sedang ingin) menangis
Tanpa tau yang ditangisi
Bintang (hanya sedang) lelah
Terhadap cahaya bintang sendiri

Rabu, 16 September 2009

Sinar Kedua Masih Redup

Aku memang menyadari bahwa aku cuma makhluk yang terlempar dalam batasan ruang dan waktu. Aku terbatas. Ketika waktu semakin menghimpitku di dalam ruang ini, aku semakin menyadari bahwa aku makhluk yang lemah. Amat sangat lemah. Kesadaran akan kelemahan ini membuatku jadi rentan dan perasa. Aku kini menjadi makhluk yang sensitif.

Kelemahan ini dimulai ketika ada suatu realita yang menghentakkan sinar yang selalu aku terima. Ya, pada awalnya aku selalu menerima sinar. Sehingga terkadang aku merasa bahwa sinar itu milikku sendiri, dan bukan milik orang lain. Aku merasa hebat dengan sinar (yang ku anggap) sendiri. Ketika realita menghentak secara tiba-tiba, aku kehilangan banyak sinar. Tetapi, tetap saja aku merasa bahwa aku bersinar, agar makhluk lain tidak menyadarinya. Aku berusaha untuk menguatkan sinarku agar tidak padam, aku berusaha agar sinar ini tetap selayaknya sinar yang aku miliki.

Sekuat apapun aku berusaha, aku tetap merasakan kelam dalam sinar ini. Beberapa makhluk menyadarinya, dan mereka memuji usaha ku. Mereka memuja ku sebagai bintang yang kuat. Aku tidak sekuat itu, teman. Terkadang aku ingin sepenuhnya meredup, kadang aku ingin sepenuhnya mengalah dengan kelam ini. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa kuat dan tidak bisa meredup. Aku berada di tengah-tengah, dan itu sangat menyiksa. Apa hebatnya kalau kalian berada di tengah-tengah? Berada di dua sisi yang sama sekali tidak bisa kalian tentukan, kemana sisi yang akan kalian hinggapi?

Lalu, aku memilih untuk biasa saja. Tepatnya untuk merasa biasa saja. Karena kepada siapa aku akan mengungkapkan kegelisahan ini? Kepada siapa aku akan bercerita dan berkeluh kesah? Tidak ada gunanya untuk bertindak demikian, karena yang akan mendengar juga tidak akan pernah memahami rasa yang aku hadapi. Perasaan kita, sebagai makhluk, tidak akan pernah sama. Jadi, tolong hentikan untuk berkata bahwa kalian memahami apa yang aku rasa. Itu hanya menambah sakitnya sinar ini yang tidak dipahami.

dan bintang ini memutuskan untuk bersinar kembali, walaupun sang sinar tidak seterang biasa nya......

Sinar Pertama Terasa Redup

Aaah, entahlah yang aku rasakan sekarang.
Diriku sendiri bahkan tidak dapat menentukan perasaan ini. Bagaimana dengan orang lain berusaha memahamiku? Terkadang aku ingin menyalahkan orang, tapi aku sadar bahwa aku lah yang salah.

Aku tersiksa dengan perasaan yang terasa menyakitkan ini. Tapi, aku sendiri bahkan tidak bisa menghindar bahkan mempelajari rasa sakit ini agar tidak terulang. Jujur, aku tidak suka dengan rasa sakit ini. Akan tetapi, aku tau bahwa rasa ini akan terulang dan aku berusaha bertahan dengan rasa sakit ini. Dengan harapan aku akan terbiasa. Akhirnya, bukan kebiasaan yang aku rasakan, malah rasa sakit yang mendera.

Terkadang, aku mencoba menangkal rasa sakit ini. Aku akan meyakinkan hati ini, bahwa aku senang dalam ketersiksaan ini. Aku pasti akan bahagia bila melihat orang lain (tentunya yang padanya asa rasa ini ku titipkan)bahagia. Aku tidak akan peduli, walaupun aku akan sakit. Terkadang aku tidak sanggup. Bahkan ada semacam keegoisan dalam diri yang memberontak, ingin meluap karena sakit ini.

Bahkan tindakan ku selalu memperkuat sakit ini. Aku manusia paradoks. Aku sendiri terkadang bingung dengan diri ini. Tapi, satu yang tidak aku bingung kan lagi adalah aku yang seperti ini. Aku memang selalu mengharapkan sesuatu yang ideal dalam perasaan, tetapi harapan ini terkadang bercampur dengan nafsu dan emosi sesaat. Aku tidak ingin yang seperti itu.

Dan pada akhirnya, aku kembali menikmati sakit ini. Hingga, sait ini terbiasa dan kemudian menghilang secara perlahan-lahan.
Dan kemudian, sang bintang mencari sinar baru demi bersinarnya sang diri. Apapun sinar yang diterima, bintang akan memantulkannya lagi demi sinar kecil bagi orang lain. Walaupun, ia menyadari bahwa ia bersinar demi orang lain. Bukan untuk dirinya.

Aku ingin menjadi bintang itu, yang menerima sinar dan kemudian meneruskannya.....